Kamis, 11 Oktober 2012

INTERNET DAN REVOLUSI BUDAYA BACA



Oleh Hadi Purnama
        
         Membaca adalah salah satu aktivitas intelektual yang hanya dimiliki manusia, sekaligus menandai puncak peradaban manusia setelah dikembangkannya sistem tulisan. Budaya membaca tidak tumbuh begitu saja, karena sejarah umat manusia mencatat pengembangan sistem tulisan melalui proses perjalanan yang sangat panjang.
         Mulai dari sistem “tulisan”  di atas tanah liat yang diperkirakan dikembangkan sejak 3000 SM oleh bangsa Assyria yang mendiami kawasan yang kini dikenal sebagai Irak. Kemudian bangsa Mesir kuno yang berdiam di daerah delta Sungai Nil mengembangkan sistem tulisan hieroglif sekira 2500 SM , yang tertoreh di atas lembaran papirus – sebagai cikal bakal kata paper yang bermakna kertas.  Hingga akhirnya dikenalkan sistem alfabetis yang dikembangkan bangsa Funesia yang diyakini berdiam di kawasan Lebanon.
         Sejak dikenalnya sistem bahasa tertulis peradaban manusia berkembang pesat, disusul berbagai penemuan alat yang mampu mereproduksi pesan tertulis. Pasalnya, jauh sebelum dikembangkannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di tahun 1447, semua dokumen penting - termasuk buku - diperbanyak secara manual dengan ditulis tangan.  Revolusi Gutenberg telah mengubah budaya baca di kalangan masyarakat Eropa, khususnya di abad 17 dan 18, karena media cetak kian mudah didapat dengan biaya yang lebih terjangkau. Berpuncak pada abad ke-19 saat terjadi Revolusi Industri di Eropa yang melahirkan teknologi massal, termasuk di bidang percetakan buku dan surat kabar, yang mendorong bangkitnya budaya ke hampir seluruh penjuru dunia.
Revolusi Informasi
         Dua abad setelah Revolusi Gutenberg, dunia dikejutkan lagi dengan “penemuan’ baru di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Hadirnya internet sebagai media baru dalam berkomunikasi dan bertukar informasi dianggap sebagai revolusi berikutnya yang dipandang mampu mengubah budaya baca.
         Internet diyakini telah merevolusi budaya baca manusia bukan saja karena memiliki keunggulan dalam kecepatan dan kapasitas pengiriman pesan, namun telah mengubah tradisi membaca., dari budaya membaca linear  menjadi budaya membaca nonlinear. Dalam budaya linear kita terbiasa membaca secara sekuensial dari satu baris ke baris berikutnya,aliena per alinea, halaman per halaman. Dan itu telah berlangsung berabad-abad lamanya dibentuk oleh media cetak!
         Berbeda dengan internet dengan teknologi multimedianya telah merevolusi cara membaca masyarakat – meminjam istilah Barry Lowe dalam buku Journalism in the Age of Multimedia (1996)  menjadi the nation of post linearity. Di era serba internet, tanpa sadar kita telah digiring ke arah budaya baca pascalinear, sehingga pada saat bersamaan selain membaca sebuah teks, dapat mencari konten lain berupa teks, audio, data dan bahkan video! Ini dimungkinkan berkat fitur hypertext yang dimiliki internet.  Karenanya, internet memiliki kemmapuan menggabungkan berbagai konten dalam waktu nyaris bersamaan.  
         Karenanya internet diprediksi akan memunculkan fenomena baru yang ditandai kelimpahruahan informasi atau information redundancy. Melihat fenomena  ini selayaknya pembaca di era internet menjadi pelahap informasi. Namun, benarkah demikian? Bagimana pula dengan kondisi di Indonesia?
Trivilalisasi Internet
         Saat ini di Indonesia mereka yang telah melek Internet dan menggunakannya diperkirakan lebih dari 30 juta dari jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa. Dengan tingkat pertumbuhan pengguna internet mencapai  1.400 persen dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, menempatkan Indonesia di urutan kelima terbesar se-Asia, dan menjadi bagian dari 2 milyar komunitas pengguna internet dunia.
         Sayangnya, besarnya potensi  pengguna Internet di Negara kita belum diiringi dengan sikap dan perilaku yang konstruktif, semisal memanfaatkannya sebagai gudang informasi dan ilmu. Pasalnya, berkaca dari keterangan Menkominfo  Tifatul Sembiring yang menyatakan pemanfaatan internet masih baru sebatas untuk kebutuhan chatting, email, game online, dan untuk jejaring sosial,  bukan untuk bisnis atau pendidikan.
         Artinya, yang terjadi adalah trivilalisasi penggunaan internet untuk urusan remeh-temeh. Padahal, kehadiran internet bukan sekadar  sebagai alat untuk chat dan berbagai urusan remeh temeh lainnya. Sejatinya Internet  di milennium kedua ini diharapkan mampu mengulang bangkitnya budaya baca masyarakat, seperti pernah terjadi 500 tahun silam,  pasca Revolusi Gutenberg di abad pertengahan. Terlebih dengan karakteristik yang dimiliki Internet saat ini yang memiliki potensi maha dahsyat sebagai “mesin” pencari informasi. Para pengguna internet  bisa mengakses informasi lebih cepat, mudah, dan murah. Dengan Internet setiap orang dapat mencari sekaligus mengunduh jutaan bahkan milyaran teks, data dan gambar yang berasal dari ratusan juta website, blog e-paper, e-book, e-journal hingga e-encyclopedia di jagat internet.
         Saat ini kita sedang berada di era transisi menuju revolusi kedua budaya baca di era Internet, yang diharapkan lebih mencerdaskan umat manusia.   
            Walahualam bisawab.
           
Penulis pemerhati media dan staf pengajar Komunikasi Sekolah Komunikasi Multimedia, IMTelkom Bandung

MELINDUNGI WHISTLEBLOWER (BERANI BUKA MULUT)



Oleh Hadi Purnama

Beberapa orang guru disidik pihak berwenang, pasalnya ditenggarai menjadi  whistleblower  yang membongkar  praktik kecurangan dalam ujian nasional lalu. Tragisnya, tindakan para ”pembocor rahasia” ini justru ditanggapi skeptis bahkan negatif oleh banyak pihak . ”Pembungkaman” guru yang masih memiliki hati nurani ini sungguh sebuah ironi, di saat pemerintah berupaya memberantas berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di negeri .
*****
Membongkar praktik kecurangan dalam ujian nasional yang dilakukan para guru, seharusnya dijadikan momentum pemberantasan korupsi di semua lini kehidupan. Apa jadinya ketika institusi pendidikan sebagai benteng terakhir kejujuran sebuah bangsa didan menjadi sasaran tembak pihak berwajib. Padahal peran para ”pembocor rahasia” ini – dikenal dengan sebutan whistleblower – justru sangat dibutuhkan di zaman edan seperti sekarang. Bukan hanya untuk kasus UN, tetapi di hampir semua sektor kehidupan bernegara yang tengah dihimpit persaoalan besar: korupsi.
Seorang whistleblower, jelas berbeda dengan pemfintah atau penghasut, karena biasanya membocorkan rahasia dengan itikad baik dibekali informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Misi mereka jelas, memperbaiki kebobrokan yang dibangun suatu sistem secara sistemik.
Kasus Watergate merupakan salah satu contoh klasik betapa whistleblower memegang peran kunci dalam mengurai sebuah kecurangan. Kasus pembocoran rahasia praktik kecurangan politik yang dilakukan dua wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, menjadi bahan kajian wajib mahasiswa jurnalistik dalam kuliah investigasi. Klimak dari kasus yang menggegerkan publik Amerika ini akhirnya memaksa Presiden Nixon turun tahta sebelum waktunya di tahun 1974.
Sukses pers dalam kasus Watergate tidak dimungkinkan tanpa andil Deep Throat– sang pembocor rahasia yang tetap dijaga jati dirinya. Kerahasiaan ini tetap dijaga rapi oleh kedua wartawan legendaris tadi selama lebih dari tiga puluh tahun. Sampai akhirnya W. Mark Felt, orang dalam FBI yang dijuluki Deep Throat ini membuka diri kepada publik saat memberikan wawancara eksklusif di Vanity Fair dua tahun silam.
Kasus pembocoran rahasia yang dilakukan whistleblower, bukan saja terjadi di kancah politik. Skandal akuntansi yang menyeret perusahaan raksasa WorldCom  dan Enron pada tahun 2001-2002 kian menguatkan peran para whistleblower dalam mengungkap borok perusahaan yang berpotensi merugikan publik. Cynthia Cooper  dan Sherron Watkins masing-masing petinggi di perusahaan WorldCom  dan Enron, berhasil menjadi ikon whistleblower yang berani buka mulut untuk mengungkap kebenaran. Keduanya akhirnya dinobatkan menjadi Persons of The Year  versi majalah Time edisi akhir tahun 2002.
Perlu Payung Hukum
Bagaimana dengan nasib whistleblower di Indonesia? Fenomena pembungkaman para pelapor praktik curang dalam UN baru lalu, dan kasus para pemberi informasi dalam kasus suap peradilan menunjukkan para pembocor informasi dalam masih posisi tidak aman.
Padahal saat ini Indonesia memerlukan lebih banyak orang yang berani buka mulut saat melihat praktik curang. Merebaknya praktik korupsi di hampir semua bidang kehidupan, tidak mungkin diatasi tanpa peran serta whistleblower. Meski para hamba hukum sudah bisa menerapkan asas pembuktian terbalik, tetapi entry point atas kasus korupsi sangat bergantung pada pemberi informasi awal.
Persoalannya, sudahkah kita menyiapkan sistem dan perangkat hukum yang mampu melindungi para ”martir informasi” ini? Tanpa itu semua, siapa pun ogah kalau harus mati konyol setelah memberikan informasi penting.
Kita patut bercermin dari pengalaman pasca kasus WorldCom dan Enron di Amerika. Setelah diguncang skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan kedua perusahaan raksasa tersebut,  lahirlah Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. SOA 2002 menjadi instrumen yang harus dipatuhi perusahaan yang terdaftar di pasar saham AS. Ibaratnya, inilah payung hukum yang akan melindungi whistleblower.
Salah satu pasal SOA 2002 mengatur, perusahan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengancam, mengintimidasi  atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melakukan pelaporan sesuai prosedur dan didasarkan itikad baik.
Begitu pun dengan payung hukum lainnya, semisal undang-undang perlindungan saksi. Instrumen hukum yang jelas akan memberikan nyali bagi whistleblower melaporkan setiap kecurangan yang dilakukan di sebuah institusi.
Sebuah survei yang dilakukan Association of Certified Fraud Examiner menunjukkan bahwa deteksi awal yang berasal dari pengaduan karyawan, pelanggan dan pihak-pihak yang berkepntingan lainnya jauh lebih efektif bahkan dari informasi pihak berwajib. Program whistleblower sudah diterapkan di banyak perusahaan besar, terutama yang sudah listing di bursa saham, salah satunya oleh PT Telkom.
Budaya ”Berani Buka Mulut”
Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi saat ini, program whistleblower harus menjadi komitmen semua pihak, terlebih pemerintah. Budaya ”Berani Buka Mulut” harus menjadi gerakan sosial yang difasilitasi semua lapisan masyarakat, khususnya dari elit politik.
Dengan begitu banyak kecurangan, penyelewengan, dan korupsi di sekitar kita. Mustahil diberantas tanpa keberanian dari para whistleblower. Berani buka mulut? 

Penulis pemerhati media, staf pengajar Komunikasi di Sekolah Komunikasi Multimedia, di IMTelkom Bandung 

POTENSI EKONOMI MEDIA ONLINE



Oleh Hadi Purnama

            Lebih sepuluh tahun lalu negara-negara industri maju yang tergabung dalam G-8 memprediksi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan menjadi lokomotif penting yang akan menghela pertumbuhan ekonomi  dunia di abad ke-21. Prediksi itu tampak-nya mulai terbukti satu dekade kemudian.
         Wajah dunia saat ini memang telah berubah drastis seiring kian merasuknya peran dan sekaligus pengaruh internet di hampir setiap aktivitas manusia. Bermula sebagai media komunikasi dan informasi di lingkungan militer dan kalangan ilmuwan, di kemudian hari internet merambah ke sektor bisnis formal dan informal.
         Saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 2 milyar pengguna internet di seluruh dunia, atau hampir sepertiga jumlah penduduk dunia saat ini yang mencapai 6,9 milyar jiwa. Dan, Asia dinobatkan sebagai pengguna internet terbesar dengan angka 44 persen dari total populasi pengguna internet (sumber: http://www.internetworld-stats.com/stats.htm).
         Makin banyaknya pengguna internet menunjukkan kian bergesernya peran media konvensional lain, semisal surat kabar, radio dan televisi. Internet sekarang bukan hanya media sosial untuk sekadar chat, melainkan telah bertransformasi menjadi media bisnis yang kian diperhitungkan. Ini tidak bisa dilepaskan dari beberapa karakteristik yang dimiliki internet – sekaligus menjadi daya tariknya - seperti interaktifitas, hipertektualitas, bersifat multimedia, personalisasi, real time, serta berdaya jangkau global.
         Hadirnya internet di ranah ekonomi mendorong lahirnya inovasi bisnis yang jarang atau belum pernah dilakukannya sebelumnya. Berkembangnya e-commerce yang mengandalkan sistem transaksi online melalui Paypal, transfer bank, cash on delivery, kartu kredit dan kartu debet, telah mengubah budaya berbelanja masyarakat secara fisik menjadi belanja secara maya.
Fenomena Dot.com         
Munculnya fenomena bisnis di media online sejak awal dekade 90-an, dikenal dengan sebutan bisnis dot.com, mendorong tumbuhnya ekonomi baru berbasis internet. Mengguritanya e-commerce di negara-negara maju merembet ke banyak negara berkembang, Saat ini AS masih mendominasi e-commerce global dengan nilai transaksi mencapai US$ 3,2 triliun - atau meraih 47% dari total nilai e-commerce global. Namun demikian, di masa mendatang perkembangan e-commerce di negara-negara Asia dan Eropa diprediksi akan lebih aktif.
         Asia menjadi kawasan terpenting saat ini, karena dipandang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia, terlebih dengan pertumbuhan ekonomi di Cina dan India sebagai kekuatan ekonomi baru saat ini dan masa depan.  yang   ini pengguna internet menunjukkan perkembangan yang tinggi dengan pertumbuhan melebihi 1.000 persen.
         Saat ini jumlah pengguna layanan internet di Asia telah lebih dari 800 juta atau sekitar 41,95 persen dari total pengguna internet di seluruh dunia yang jumlahnya hampir 2 milyar.
Dorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional   
         Ibarat efek domino pengembangan TIK diyakini dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi jadi lebih cepat, karena setiap adanya tambahan investasi sebesar 1 persen, akan memberikan dampak pertumbuhan ekonomi 3 – 5  persen.
         Terlebih Indonesia yang berpenduduk lebih dari 240 juta jiwa,- dengan pengguna internet lebih dari 30 juta,  menempati urutan kelima terbesar se-Asia - berpeluang menjadi  kekuatan ekonomi baru di Asia setelah China dan India. Dan sektor e-commerce akan menjadi salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Apalagi Dari sisi pertumbuhan pengguna internet, Indonesia juga masuk dalam kategori lima terbesar dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1.400 persen dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
         Data yang dilansir data dari IDC dua tahun silam, menunjukkan nilai perdagangan lewat internet di Indonesia mencapai sekitar $ 3,4 miliar atau setara dengan Rp 35 triliun. Sayangnya potensi besar ini belum bisa sepenuhnya ditangkap oleh pemain lokal. Potensi ekonomi lain dari TIK mampu memberikan sumbangan, khususnya penerimaan negara yang berasal dari bukan pajak atau PNBP.
         Salah satu kuncinya adalah dengan mengembangan teknologi broadband. Sejak broadband dikembangkan tahun 2009, PNBP naik menjadi Rp10,5 triliun,dari sebelumnya yang hanya Rp. 7 triliun. Tahun 2010 lalu PNBP dai sektor TIK mencapai Rp12,8 triliun. Sedangkan tahun 2011 PNBB ditargetkan sebesar Rp13-15 triliun.
         Bukti lain pentingnya meningkatkan daya saing ekonomi nasional melalui pemanfaatan media online ditunjukkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS), dimana  pertumbuhan ekonomi terbesar berasal dari bidang teknologi, yakni sekitar 13 persen.
         Padahal, mengutip keterangan Tifatul, capaian ekonomi nasional berbasis media online sebenarnya bisa lebih dioptimalkan lagi. Mengingat saat ini pemanfaatan internet  baru sebatas untuk chatting, email, game online, dan untuk jejaring sosial. Bukan untuk bisnis atau pendidikan!
Penulis pemerhati media dan staf pengajar Komunikasi pada Sekolah Komunikasi Multimedia, IMTelkom Bandung