Selasa, 24 Januari 2017

KOMUNIKASI, KOMUNIKASI GRAFIS, DAN KOMUNIKASI VISUAL (Bagian I)



- Seri Komunikasi Visual -



Oleh Hadi Purnama

 Dalam semesta ilmu komunikasi, dimana sebenarnya posisi komunikasi visual? Apa perbedaan esensial komunikasi visual dengan komunikasi grafis?



***
Komunikasi visual - bagi sementara orang – bukan hal baru. Tapi tidak halnya bagi sebagian besar lainnya, komunikasi visual merupakan sesuatu yang baru atau bahkan asing. Pasalnya, dibandingkan dengan kajian bidang komunikasi seperti Komunikasi Lintas Budaya, Komunikasi Kesehatan, Komunikasi Politik, atau Komunikasi Bisnis, maka keberadaan dan peranan Komunikasi Visual seakan masih dipandang sebelah mata.
Padahal, mengutip pernyataan David D. Perlmutter (1990), manusia pada dasarnya adalah homo iconics (homo ikonik), mahluk cerdas yang mampu menciptakan simbol sekaligus menafsirkan makna atas simbol tersebut. Sebagai homo ikonik manusia disebut ”hewan” (cerdas) yang didorong oleh penglihatan (sight-driven) yang menerima 90 persen data tentang lingkungan di sekitarnya melalui mata.
Akar Sejarah Komunikasi Visual
Sebelum membahas komunikasi visual, ada baiknya mengulas pengertian komunikasi terlebih dulu. Dari sekian banyak definisi tentang komunikasi, saya akan menganalisis salah satu diantaranya yang dibuat oleh Richard West dan Lynn H. Turner dalam buku Introduciton Communication Theory: Analysis and Application. West dan Turner mendefinisikan komunikasi sebagai ”proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan (menafsirkan) makna dalam lingkungan mereka” (2008:5).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan terdapat lima kata kunci (keywords) yaitu: (1) sosial; (2) proses; (3) simbol; (4) makna; (5) lingkungan (lihat gambar).


DIGITAL STORY TELLING (Bagian I)



Oleh Hadi Purnama

Data memuaskan bagian analitik otak kita,
tetapi cerita mampu menyentuh hati kita.
***
Bila dulu Britania Raya mampu menguasai dunia selama berabad-abad dengan bermodalkan menguasai samudera. Maka kini, selain menguasai samudera luas, sebagai representasi geopolitik, maka siapapun dapat menguasai dunia ketika menguasai komunikasi melalui  teknik bercerita (story telling).
Ini bukan isapan jempol belaka. Ribuan tahun silam hal itu sudah disampaikan filsuf Yunani kuno, Plato, yang  mengatakan ”Those who tell stories rule society.” Bila diterjemahkan secara bebas, ucapan Plato kira-kira seperti ini ”Siapa pun mereka yang mampu bercerita maka akan menguasai masyarakat.”
Komunikasi sebagai Kuasa
Bila dibingkai dengan konteks kekinian ketika peran komunikasi kian penting,   maka siapa pun (individu, kelompok, institusi, korporasi, maupun negara) yang ingin memengaruhi – atau bahkan menguasai - pihak lain melalui komunikasi, maka dapat menggunakan storytelling untuk mewujudkannya.
Seorang Raditya Dika yang semula dikenal sebagai bloger, berhasil ”menghipnotis” jutaan orang (khusus-nya dari kalangan ABG) dengan kemampuan story telling. Bermodalkan kemam-puannya meramu kisah kese-harian anak muda yang di-gambarkan berkepribadian kikuk, introvert, susah berga-ul, dan bangga dengan predikatnya sebagai jomblo, Raditya Dika pantas disebut sebagai anak muda yang saat ini paling berpengaruh di Indonesia. 

Ukuran pengaruhnya bisa dilihat dari beberapa indikator sederhana. Pertama, dari jumlah followers akun media sosial Raditya Dika di Twitter sudah menembus angka 14,7 juta, sedangkan akun Instagramnya memiliki 5,2 juta followers!
Kepiawaiannya membuat kisah kemudian berbuah menjadi 8 novel, mulai dari Kambing Jantan (2005) hingga Koala Kumal (2015), belasan episode serial TV, dan sedikitnya lima film layar lebar yang berhasil mencetak jumlah penonton lebih dari satu juta!
Semua itu dicapai melalui kepiawaiannya membangun story telling.

***

Senin, 23 Januari 2017

MENJAGA KEDAULATAN BAHASA (Bagian IV)



Oleh Hadi Purnama

Salah satu unsur sosial yang turut berperan dalam menjaga kedaulatan bahasa Indonesia adalah media. Bagaimana peran media menjalankan fungsinya sebagai entitas senantiasa menjaga kedaulatan bahasa?



***
Ada berapa stasiun televisi yang dengan bangga menggunakan bahasa Indonesia bukan saja untuk nama program acara, melainkan juga menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam siarannya? Sekilas, masih terlalu banyak yang menggunakan bahasa asing, atau setidaknya bahasa gado-gado yang ditunjukkan dari penggunaan nama program acaranya. Penamaan program acara atau rubrik yang masih menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, sejatinya bukan ”dosa” besar bagi stasiun TV, stasiun radio, suratkabar dan majalah, dan media daring. Namun, apa yang dilakukan oleh media saat ini menjadi indikator atas banyak hal.
Pertama, media enggan menggunakan bahasa Indonesia karena bahasa Inggris dinilai lebih keren, sementara bahasa Indonesia dipersepsi lebih ndeso. Maka, program berita dan informasi, program hiburan, musik, olahraga, otomotif, seakan berlomba-lomba menggunakan bahasa Inggris sebagai daya tarik merebut perhatian khalayak. Jelas ini merupakan alasan yang dilandasi oleh sikap seorang inlander yang mengalami inferioritas! Bila ditinjau dari persepktif poskolonialisme, sikap dan karakter ini tumbuh karena rendahnya rasa percaya diri dari kebanyakan bangsa yang pernah mengalami penjajahan dari bangsa lain, khususnya bangsa Eropa.
Kedua, alasan belum digunakannya bahasa Indonesia oleh media karena mereka malas! Dalam arti, banyak praktisi media terlalu malas untuk memelajari dan mendalami bahasa Indonesia yang sejatinya kaya akan kosakata, kaya akan makna, dan bahkan sangat artistik. Kemalasan mencari padanan kata, frasa, atau istilah itu, maka dalam jangka panjang bersiaplah bahasa Indonesia akan menjadi fosil kebudayaan.