Oleh Hadi Purnama
illustrasi:drjillandjudgepamshow.com
Internet
harus diakui merupakan salah satu inovasi terbesar di abad ke-21, seperti
halnya penemuan mesin cetak menjelang abad pertengahan. Melalui Internet berbagai
peluang dan kesempatan baru hadir dengan kemampuan memperpendek dimensi ruang
dan waktu. Namun, pada saat bersamaan – seperti galibnya teknologi - ternyata
ada sisi gelap Internet. Internet ibarat kotak Pandora, karena sekali terbuka
berhamburan berbagai hal negatif dari dalamnya. Salah satu “penumpang gelap”
yang menyertai Internet adalah pornografi.
Banyak istilah yang dilekatkan dengan
merebaknya pornografi di dunia maya, termasuk Oxford Dictionary yang membuat
lema cyberporn untuk menyebut
fenomena ini. Pornogafi sejatinya bukan fenomena baru, karena nyaris seumur
dengan peradaban manusia. Namun kehadirannya mendapatkan artikulasi baru melalui
media online. Pornografi bukan semata
masalah asusila yang terkait langsung dengan masalah keagamaan, melainkan juga terkait
aspek sosial, budaya, politik dan tentu saja alasan ekonomi. Paling tidak,
selama terkait dengan urusan supply
dan demand, maka masalah cyberporn
akan sangat sulit untuk diberantas.
Motif Ekonomi Pornografi
Motif ekonomi menjadi salah satu alasan
utama berkembangnya cyberporn, mengingat
perputaran uang di seputar cyberporn
menunjukkan angka yang sangat mencengangkan. Alasan ini pula yang mengundang
banyak pihak untuk mengeruk keuntungan dari “bisnis besar” ini. Data statistik menunjukkan industri cyberporn mampu meraup sekira Rp.14,5
triliun per tahun, atau setara Rp. 28 juta per detik! Sehingga tidak berlebihan
bila Jerry Ropelato (dalam http://internet-filter-re-view.toptenreviews.com)
memprediksi pendapatan industri pornografi melebihi pendapatan bersama Microsoft, Google, Amazon, eBay,
Yahoo, Apple dan Netflix!
Meski
pembatasan terhadap pornografi terus dengan
berbagai cara, namun tidak pernah menyurutkan niat orang mengintip kecabulan di
dunia maya. Dari aspek demografis penikmatnya sangat beragam, mulai anak di
bawah umur sampai anggota parlemen yang terhormat. Bahkan jumlah para penikmat
pornografi – yang kerap disebut voyeuris
ini - menunjukkan kecenderungan terus meningkat, seiring bertambahnya jumlah
pengguna Internet global.
Dari
jumlah pengguna Internet saat ini yang telah melebihi 2,2 milyar, diperkirakan
setiap detiknya terdapat lebih dari 28 ribu pengguna yang melihat berbagai
konten pornografi. Setiap detiknya sekira 372 pengguna Internet mela-kukan
pencarian konten dewasa melalui search
engines.
Industri
pornografi yang relatif minim modal ini terus tumbuh secara signifikan.
Mengutip tulisan Ropelato, revenue
dari cyberporn bergerak seiring
kian mem-bengkaknya bisnis pornografi. Sebagai gambaran, di negeri Paman Sam
saja dirilis satu video pornografi baru setiap setengah jam!
Program Melek Media Maya
Wajar bila kemudian cyberporn menjadi momok di Internet. Khususnya
bila dikaitkan dengan keberadaan media maya di Indonesia dengan pengguna yang
melebihi angka 55 juta. Ada banyak kecemasan muncul seiring merebaknya cyberporn: Pertama, kian familiar dan meningkatnya pengguna
Internet di kalangan anak muda yang tergolong generasi digital natives, dengan berubahnya media habit dari media
tradisional ke media media baru. telah menjadi rahasia umum peranan dan
pengaruh media konvensional semisal koran, majalah dan televisi mulai digerus
media online dan mobile phone.
Kedua, keberadaan Internet yang nyaris
omnipresent, karena dapat dikonsumsi dimana saja, kapan saja, dengan materi
apapun. Ketiga, berbeda dengan konten media tradisional relatif telah melalui
sensor, sejauh ini hampir tidak ada sensor terhadap materi di Internet. Meski
pun di beberapa negara telah dilakukan sensor terhadap materi pornografi oleh
pemerintah setempat, namun masih lebih banyak materi yang lolos. Bahkan materi
pornografi kerap muncul pada laman
dengan nama yang sama sekali tidak berbau cabul!
Banyak langkah yang dapat ditempuh
untuk mengurangi bahaya cyberporn.
Selain langkah protektif yang sejauh ini ditempuh oleh Kemeninfo yang memblokir
situs cabul di Internet, juga perlu dilakukan langkah prefentif. Masayarakat
harus menjadi subjek aktif dalam pemberantasan
cyberporn. Melek media menjadi kata kunci yang harus dipertim-bangkan mengatasi
masalah ini.
Keluarga menjadi basis utama gerakan
melek media maya. Anggota keluarga sejak sangat dini diedukasi menggunakan Internet
secara sehat dan proporsional, sehingga menyadari sisi positif dan negatif Internet, termasuk bahaya yang
bisa diakibatkan cyberporn. Kurang
cerdas dan bijaksana bila hanya melarang tanpa mengedukasi bahaya cyberporn.
Jadi, waspadalah karena cyberporn merupakan clear and present danger!
Penulis pemerhati media dan staf
pengajar di Sekolah Komunikasi Multimedia, IMTelkom Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar