Oleh Hadi Purnama
Pemilihan
umum dan presiden langsung tinggal
hitungan sekitar 2 tahun lagi, namun aura kompetisi
antar partai kini mulai memanas. Nama-nama kandidat presiden dan wakil presiden
dari partai besar maupun “gurem” bersaing sangat ketat. Pemicunya adalah hasil jajak
pendapat publik atau polling yang
dilakukan sejumlah media massa
cetak dan elektronik nasional. Reaksi pun bermunculan – baik pro maupun kontra
– menanggapi maraknya polling politik
di media massa.
Polarisasi pendapat di tengah masyarakat tak pelak menyeruak dalam menyoal
urgensi polling politik.
Kubu
yang kontra menilai penyelenggaraan polling
politik belakangan ini cacat secara ilmiah. Hasil polling dipandang tidak memenuhi syarat dari sisi metodologis,
diantaranya tidak memiliki validitas dan reliabilitas. Pendeknya, hasil polling tidaklah mencerminkan realitas
politik masyarakat. Lebih jauh lagi,
hasil polling politik dapat menjadi “tirani minoritas” bagi pendapat mayoritas
masyarakat.
Bagi
para pendukung kebebasan – terutama kalangan media massa - beranggapan polling politik meski “cacat metodologis” tetap diperlukan dengan
beragam pertimbangan. Polling politik
– kilah kubu ini - dalam formatnya sekarang menjadi sebuah proses pembelajaran politik masyarakat dalam menyampaikan
pendapatnya.
Kenapa
Harus Polling?
Terlepas
dari kontroversi tentang urgensi pelaksanaan polling politik, pertanyaan menggelitik yang harus dijawab adalah
kenapa polling menjadi penting dalam
praktik politik modern? Dan, kenapa polling
yang dilakukan media massa
kini dipersoalkan?
Sebagai
sebuah cara untuk mengukur pendapat umum, polling
yang muncul di era 30-an merupakan teknik termutakhir, akurat dan ilmiah. Dibandingkan
teknik-teknik lain untuk menjaring ekspresi atau pendapat umum, semisal
retorika, petisi, straw vote bahkan pemilihan umum, polling menjadi sarana dan teknik paling modern (Eriyanto,
1999:4-5). Selepas era straw vote,
dimana jajak pendapat melibatkan publik
dalam jumlah yang sangat besar, sejauh ini belum ada teknik yang dapat
menggantikan peran polling.
Dari
sisi akurasi data - apabila dilaksanakan dengan metode yang sesuai - tidak
diragukan lagi polling dapat
dijadikkan rujukan untuk mengukur sikap
dan pendapat mayoritas publik. Dalam praktik politik modern di sejumlah negara
maju, semisal di Amerika Serikat, Eropa atau Jepang, polling sejak lama sudah lazim dijadikan barometer untuk mengukur popularitas
seorang presiden, partai yang berkuasa, bahkan bagi pihak oposisi sekalipun.
Polling
sering dipandang akurat, karena dalam praktiknya harus mengindahkan dan
bersandar pada metodologi ilmiah. Ditemukannya dan dieterapkannya
prinsip-prinsip probabilitas dan statistik, serta perkembangan metode survey
menjadikan polling. sebagai teknik
pengumpulan pendapat publik terandal untuk saat ini.
Karena alasan-alasan
tadi, dalam praktik politik modern polling
kerap digunakan oleh para pemegang keputusan sebagai salah satu sandaran untuk
pembuatan kebijakan publik, bahkan untuk membuat strategi dan program tertentu.
Politik
Polling
Persoalannya,
kenapa sementara pihak menggugat penyelenggaran
polling
yang dilakukan media massa,
namun pihak media massa
seakan bersikukuh mempertahankan menyajikan polling
politik?
Padahal,
mengutip pendapat pengamat politik Denni JA dalam salah satu artikel di sebuah surat kabar nasional, hasil
polling yang dilakukan sejumlah media
massa cetak dan
elektronik dipandang dapat menyesatkan
opini publik. Karena hasilnya dipandang tidak merepresentasikan ekspresi
mayoritas publik. Pendapat senada dilontarkan peneliti senior dan periset Yanti
Sugarda, yang menyoroti pelaksanaan polling saat ini sudah salah kaprah.
Alasannya, pelaksanaan polling oleh
media massa
tidak mengindahkan prosedur metodologi sampling.
Kekhawatiran
Denny dan Yanti cukup beralasan. Dilihat dari metodologi sampling, polling yang dilaksanakan media massa cetak dan elektronik jelas belum mampu
mewakili strata sosial rakyat Indonesia.
Mengingat sampel yang digunakan hanya kelompok publik pemilik telepon seluler. Padahal
kepemilikan ponsel di tanah air masih sebatas pada penduduk perkotaan kelas
menengah-atas, yang jumlahnya masih relatif
kecil dibandingkan jumlah rakyat Indonesia.
Maka,
akan sangat beralasan bila banyak kalangan menilai polling politik saat ini tidak murni sebagai instrumen penjajak
pendapat publik, melainkan juga sebagai instrumen bisnis dan politik. Sebagai
instrumen bisnis polling dipandang
lahan yang sangat menjanjikan bagi
kalangan media massa.
Penggunaan SMS atau premium call, diyakini memiliki implikasi profit bagi provider telekomunikasi dan para
pengelola media massa.
Bahkan, ada kecenderungan penayangan hasil polling
di media cetak dan TV turut mendongkrak tiras dan jumalah khalayak.
Secara
substansial, kekhawatiran justru berpangkal pada pertanyaan: apakah polling
politik belakangan ini telah dijadikan instrumen politik oleh segelintir pihak
dengan menggunakan perpanjangan tangan media massa dan lembaga yang mengatasnamakan pusat
kajian pendapat umum ? Kekhatariran seperti ini pantas mengemuka, karena kecenderungan
polling digunakan sebagai alat
legitimasi politik untuk partai politik, golongan dan individu seakan telah menjadi
rahasia umum.
Kecurigaan
berkembang bukan saja tertuju pada polling
yang dilakukan media massa, bahkan terhadap polling
centre yang umumnya dikelola intelektual dan pengamat politik yang kerap memiliki
orientasi politik atau kedekatan
psikologis dengan kelompok atau parpol tertentu.
Alih-alih
menjadikan polling sebagai
sarana penghimpunan pendapat publik, kini polling “direkayasa” menjadi instrumen politik untuk mengarahkan
pendapat dan memobilisasi dukungan publik. Tidak heran bila hasil polling politik di sebuah suratkabar
nasional terbitan ibukota justru mengunggulkan kandidat dari sebuah parpol besar bermasalah yang
sekaligus menjadi konlomerat sebuah jaringan media massa terkemuka di Indonesia.
Begitu
pun dengan jajak pendapat yang dilakukan sejumlah LSM, hasilnya tidak serta merta merepresentasikan
ekspresi mayoritas publik. Meski pun dalam pelaksanaannya setiap LSM mengaku
telah menerapkan prinsip-prinsip survey ilmiah. Sekali lagi bias politik sebuah polling
, bukan semata-mata penerapan metode survey yang benar, tetapi juga reliabitas
dari para pelaksana jajak pendapat.
Polling dan Instrumen Pembelajaran Politik
Terlepas
dari itu semua, sungguh menarik mencermati hasil polling politik di beberapa media cetak dan elektronik saat ini.
Beberapa nama calon presiden dan wakil presiden, justru bukan berasal dari parpol
besar. Semisal, berkibarnya nama presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Hidayat Nur Wahid, atau Ruyandi Hutasoit dari Partai Damai Sejahtera (PDS), dan
Amin Rais (PAN) yang semuanya bukan berasal dari dari parpol berkuasa (rulling party), sesungguhnya menjadi penanda dan petanda fenomena politik
masyarakat yang sedang berubah.
Hasil
polling politik ini, terlepas dari
rendahnya penerapan prinsip-prinsip survey,
jelas bukan sekadar mencerminkan pilihan emosional publik. Ekspresi
publik ini , meski dipandang belum mewakili ekspresi mayoritas rakyat Indonesia,
seakan menjadi instrumen pembelajaran politik yang sangat bernilai bagi bangsa
ini. Bahwa masih ada sebagian rakyat di republik ini yang tetap peduli dengan
profil pemimpin bangsa yang bukan tergolong politisi busuk. Dan, mereka menaruh
harapan besar dengan masa depan bangsa ini, yang mungkin akan pulih dari
keterpurukan andai dipimpin para politisi bersih.