Jumat, 05 Oktober 2012

CYBERPORN DAN MELEK MEDIA MAYA

Oleh Hadi Purnama

illustrasi:drjillandjudgepamshow.com



Internet harus diakui merupakan salah satu inovasi terbesar di abad ke-21, seperti halnya penemuan mesin cetak menjelang abad pertengahan. Melalui Internet berbagai peluang dan kesempatan baru hadir dengan kemampuan memperpendek dimensi ruang dan waktu. Namun, pada saat bersamaan – seperti galibnya teknologi - ternyata ada sisi gelap Internet. Internet ibarat kotak Pandora, karena sekali terbuka berhamburan berbagai hal negatif dari dalamnya. Salah satu “penumpang gelap” yang menyertai Internet adalah pornografi.
         Banyak istilah yang dilekatkan dengan merebaknya pornografi di dunia maya, termasuk Oxford Dictionary yang membuat lema cyberporn untuk menyebut fenomena ini. Pornogafi sejatinya bukan fenomena baru, karena nyaris seumur dengan peradaban manusia. Namun kehadirannya mendapatkan artikulasi baru melalui media online. Pornografi  bukan semata masalah asusila yang terkait langsung dengan masalah keagamaan, melainkan juga terkait aspek sosial, budaya, politik dan tentu saja alasan ekonomi. Paling tidak, selama terkait dengan urusan supply dan demand, maka  masalah cyberporn akan sangat sulit untuk diberantas.
Motif Ekonomi Pornografi
         Motif ekonomi menjadi salah satu alasan utama berkembangnya cyberporn, mengingat perputaran uang di seputar cyberporn menunjukkan angka yang sangat mencengangkan. Alasan ini pula yang mengundang banyak pihak untuk mengeruk keuntungan dari “bisnis besar” ini.  Data statistik menunjukkan industri cyberporn mampu meraup sekira Rp.14,5 triliun per tahun, atau setara Rp. 28 juta per detik! Sehingga tidak berlebihan bila Jerry Ropelato (dalam http://internet-filter-re-view.toptenreviews.com) memprediksi pendapatan industri pornografi melebihi pendapatan bersama Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo, Apple dan Netflix!
         Meski pembatasan terhadap pornografi terus  dengan berbagai cara, namun tidak pernah menyurutkan niat orang mengintip kecabulan di dunia maya. Dari aspek demografis penikmatnya sangat beragam, mulai anak di bawah umur sampai anggota parlemen yang terhormat. Bahkan jumlah para penikmat pornografi – yang kerap disebut voyeuris ini - menunjukkan kecenderungan terus meningkat, seiring bertambahnya jumlah pengguna Internet global.
         Dari jumlah pengguna Internet saat ini yang telah melebihi 2,2 milyar, diperkirakan setiap detiknya terdapat lebih dari 28 ribu pengguna yang melihat berbagai konten pornografi. Setiap detiknya sekira 372 pengguna Internet mela-kukan pencarian konten dewasa melalui search engines.
         Industri pornografi yang relatif minim modal ini terus tumbuh secara signifikan. Mengutip tulisan Ropelato, revenue dari cyberporn bergerak seiring kian mem-bengkaknya bisnis pornografi. Sebagai gambaran, di negeri Paman Sam saja dirilis satu video pornografi baru setiap setengah jam!
Program Melek Media Maya       
         Wajar bila kemudian cyberporn menjadi momok di Internet. Khususnya bila dikaitkan dengan keberadaan media maya di Indonesia dengan pengguna yang melebihi angka 55 juta. Ada banyak kecemasan muncul seiring merebaknya cyberporn: Pertama, kian familiar dan meningkatnya pengguna Internet di kalangan anak muda yang tergolong generasi digital natives, dengan berubahnya media habit dari media tradisional ke media media baru. telah menjadi rahasia umum peranan dan pengaruh media konvensional semisal koran, majalah dan televisi mulai digerus media online dan mobile phone.
         Kedua, keberadaan Internet yang nyaris omnipresent, karena dapat dikonsumsi dimana saja, kapan saja, dengan materi apapun. Ketiga, berbeda dengan konten media tradisional relatif telah melalui sensor, sejauh ini hampir tidak ada sensor terhadap materi di Internet. Meski pun di beberapa negara telah dilakukan sensor terhadap materi pornografi oleh pemerintah setempat, namun masih lebih banyak materi yang lolos. Bahkan materi pornografi kerap muncul pada  laman dengan nama yang sama sekali tidak berbau cabul!
         Banyak langkah yang dapat ditempuh untuk mengurangi bahaya cyberporn. Selain langkah protektif yang sejauh ini ditempuh oleh Kemeninfo yang memblokir situs cabul di Internet, juga perlu dilakukan langkah prefentif. Masayarakat harus menjadi subjek aktif dalam  pemberantasan cyberporn. Melek media menjadi kata kunci yang harus dipertim-bangkan mengatasi masalah ini.
         Keluarga menjadi basis utama gerakan melek media maya. Anggota keluarga sejak sangat dini diedukasi menggunakan Internet secara sehat dan proporsional, sehingga menyadari sisi positif  dan negatif Internet, termasuk bahaya yang bisa diakibatkan cyberporn. Kurang cerdas dan bijaksana bila hanya melarang tanpa mengedukasi bahaya cyberporn.
         Jadi, waspadalah karena cyberporn merupakan clear and present danger!

Penulis pemerhati media dan staf pengajar di Sekolah Komunikasi Multimedia, IMTelkom Bandung.
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar