Sabtu, 06 Oktober 2012

POLLING POLITIK, POLITIK POLLING



Oleh Hadi Purnama
Pemilihan umum dan presiden langsung tinggal hitungan sekitar 2 tahun lagi, namun  aura kompetisi antar partai kini mulai memanas. Nama-nama kandidat presiden dan wakil presiden dari partai besar maupun “gurem” bersaing sangat ketat. Pemicunya adalah hasil jajak pendapat publik atau polling yang dilakukan sejumlah media massa cetak dan elektronik nasional. Reaksi pun bermunculan – baik pro maupun kontra – menanggapi maraknya polling politik di media massa. Polarisasi pendapat di tengah masyarakat tak pelak menyeruak dalam menyoal urgensi polling politik.
Kubu yang kontra menilai penyelenggaraan polling politik belakangan ini cacat secara ilmiah. Hasil polling dipandang tidak memenuhi syarat dari sisi metodologis, diantaranya tidak memiliki validitas dan reliabilitas. Pendeknya, hasil  polling tidaklah mencerminkan realitas politik masyarakat. Lebih jauh lagi,  hasil polling politik dapat menjadi “tirani minoritas” bagi pendapat mayoritas masyarakat.
Bagi para pendukung kebebasan – terutama kalangan media massa -  beranggapan polling politik meski “cacat  metodologis” tetap diperlukan dengan beragam pertimbangan. Polling politik – kilah kubu ini - dalam formatnya sekarang menjadi sebuah proses pembelajaran   politik masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya.
Kenapa Harus Polling?
Terlepas dari kontroversi tentang urgensi pelaksanaan polling politik, pertanyaan menggelitik yang harus dijawab adalah kenapa polling menjadi penting dalam praktik politik modern? Dan, kenapa polling yang dilakukan media massa kini dipersoalkan?
Sebagai sebuah cara untuk mengukur pendapat umum, polling yang muncul di era 30-an merupakan teknik termutakhir, akurat dan ilmiah. Dibandingkan teknik-teknik lain untuk menjaring ekspresi atau pendapat umum, semisal retorika, petisi, straw vote  bahkan pemilihan umum, polling menjadi sarana dan teknik paling modern (Eriyanto, 1999:4-5). Selepas era straw vote, dimana jajak pendapat melibatkan  publik dalam jumlah yang sangat besar, sejauh ini belum ada teknik yang dapat menggantikan peran  polling.
Dari sisi akurasi data - apabila dilaksanakan dengan metode yang sesuai - tidak diragukan lagi polling dapat dijadikkan rujukan untuk mengukur  sikap dan pendapat mayoritas publik. Dalam praktik politik modern di sejumlah negara maju, semisal di Amerika Serikat, Eropa atau Jepang, polling sejak lama sudah lazim dijadikan barometer untuk mengukur popularitas seorang presiden, partai yang berkuasa, bahkan bagi pihak oposisi sekalipun.
Polling sering dipandang akurat, karena dalam praktiknya harus mengindahkan dan bersandar pada metodologi ilmiah. Ditemukannya dan dieterapkannya prinsip-prinsip probabilitas dan statistik, serta perkembangan metode survey menjadikan  polling. sebagai   teknik pengumpulan pendapat publik terandal untuk saat ini.
            Karena alasan-alasan tadi, dalam praktik politik modern polling kerap digunakan oleh para pemegang keputusan sebagai salah satu sandaran untuk pembuatan kebijakan publik, bahkan untuk membuat strategi dan program tertentu.
Politik Polling
Persoalannya, kenapa  sementara pihak menggugat penyelenggaran   polling yang dilakukan media massa, namun pihak media massa seakan bersikukuh mempertahankan menyajikan polling politik?
Padahal, mengutip pendapat pengamat politik Denni JA dalam salah satu artikel di sebuah surat kabar nasional, hasil polling yang dilakukan sejumlah media massa cetak dan elektronik dipandang dapat  menyesatkan opini publik. Karena hasilnya dipandang tidak merepresentasikan ekspresi mayoritas publik. Pendapat senada dilontarkan peneliti senior dan periset Yanti Sugarda, yang menyoroti pelaksanaan polling saat ini sudah salah kaprah. Alasannya, pelaksanaan polling oleh media massa tidak mengindahkan prosedur metodologi sampling.
Kekhawatiran Denny dan Yanti cukup beralasan. Dilihat dari metodologi sampling, polling yang dilaksanakan media massa cetak dan elektronik jelas belum mampu mewakili strata sosial rakyat Indonesia. Mengingat sampel yang digunakan hanya kelompok publik pemilik telepon seluler. Padahal kepemilikan ponsel di tanah air masih sebatas pada penduduk perkotaan kelas menengah-atas, yang jumlahnya masih relatif  kecil dibandingkan jumlah rakyat Indonesia.
Maka, akan sangat beralasan bila banyak kalangan menilai polling politik saat ini tidak murni sebagai instrumen penjajak pendapat publik, melainkan juga sebagai instrumen bisnis dan politik. Sebagai instrumen bisnis polling dipandang lahan yang sangat  menjanjikan bagi kalangan media massa. Penggunaan SMS atau  premium call, diyakini memiliki implikasi profit bagi provider telekomunikasi dan para pengelola media massa. Bahkan, ada kecenderungan penayangan hasil polling di media cetak dan TV turut mendongkrak tiras dan jumalah khalayak.
Secara substansial, kekhawatiran justru berpangkal pada pertanyaan: apakah  polling politik belakangan ini telah dijadikan instrumen politik oleh segelintir pihak dengan menggunakan perpanjangan tangan media massa dan lembaga yang mengatasnamakan pusat kajian pendapat umum ? Kekhatariran seperti ini pantas mengemuka, karena kecenderungan polling digunakan sebagai alat legitimasi politik untuk partai politik, golongan dan individu seakan telah menjadi rahasia umum.
Kecurigaan berkembang bukan saja tertuju pada polling yang dilakukan media massa, bahkan terhadap polling centre yang umumnya dikelola intelektual dan pengamat politik yang kerap memiliki orientasi  politik atau kedekatan psikologis dengan kelompok atau parpol tertentu.
Alih-alih menjadikan polling sebagai sarana  penghimpunan pendapat publik, kini  polling  “direkayasa” menjadi instrumen politik untuk mengarahkan pendapat dan memobilisasi dukungan publik. Tidak heran bila hasil polling politik di sebuah suratkabar nasional terbitan ibukota justru mengunggulkan kandidat  dari sebuah parpol besar bermasalah yang sekaligus menjadi konlomerat sebuah jaringan media massa terkemuka di Indonesia.
Begitu pun dengan jajak pendapat yang dilakukan sejumlah LSM,  hasilnya tidak serta merta merepresentasikan ekspresi mayoritas publik. Meski pun dalam pelaksanaannya setiap LSM mengaku telah menerapkan prinsip-prinsip survey ilmiah. Sekali lagi bias politik  sebuah polling , bukan semata-mata penerapan metode survey yang benar, tetapi juga reliabitas dari para pelaksana jajak pendapat.
Polling dan Instrumen Pembelajaran Politik
Terlepas dari itu semua, sungguh menarik mencermati hasil polling politik di beberapa media cetak dan elektronik saat ini. Beberapa nama calon presiden dan wakil presiden, justru bukan berasal dari parpol besar. Semisal, berkibarnya nama presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid, atau Ruyandi Hutasoit dari Partai Damai Sejahtera (PDS), dan Amin Rais (PAN) yang semuanya bukan berasal dari dari parpol berkuasa (rulling party), sesungguhnya  menjadi penanda dan petanda fenomena politik masyarakat yang sedang berubah.
Hasil polling politik ini, terlepas dari rendahnya penerapan prinsip-prinsip survey,  jelas bukan sekadar mencerminkan pilihan emosional publik. Ekspresi publik ini , meski dipandang belum mewakili ekspresi mayoritas rakyat Indonesia, seakan menjadi instrumen pembelajaran politik yang sangat bernilai bagi bangsa ini. Bahwa masih ada sebagian rakyat di republik ini yang tetap peduli dengan profil pemimpin bangsa yang bukan tergolong politisi busuk. Dan, mereka menaruh harapan besar dengan masa depan bangsa ini, yang mungkin akan pulih dari keterpurukan andai dipimpin para politisi bersih. 

Resensi Buku: Menghapus Mitos Kinerja Public Relations Sulit Diukur



Judul: Communications Measurement, Konsep dan Aplikasi Pengukuran Kinerja Public Relations. Penulis: Dodi M. Gozali. Penerbit: Simbiosa Rekatama Media, Bandung. Tahun Terbit: Juni 2005. Jumlah Halaman: 170


 

Mitos tentang praktik Public Relations yang “sulit diukur” sudah sejak lama diyakini  oleh kalangan praktisi dan akademisi yang menggeluti PR. Tidak heran bila praktik PR yang berkaitan dengan pengukuran sejumlah hal yang bersifat abstrak, semisal  tentang hubungan (relationship), citra (image), efektivitas komunikasi dan dukungan publik masih menimbulkan penafsiran yang berbeda.
Tumbuhnya mitos seperti itu tidak berlebihan. Kegiatan PR pada galibnya memang sulit diukur karena bersinggungan dengan masalah abstrak. Namun, bukan berarti PR yang berada di lingkungan manajemen perusahaan menjadi praktik yang serba tidak terukur. Pengukuran menjadi penting, karena dapat dijadikan pijakan bagi manajemen dalam mengendalikan jalannya bisnis perusahaan secara efektif. Mengoperasikan perusahaan tanpa melakukan pengukuran, menurut Dodi M. Gozali dalam buku Communication Measurement, Konsep dan Aplikasi Pengukuran Kinerja Public Relations, ibarat menggelar pertandingan tanpa mengitung skor!
Pengukuran sendiri, menurut penulis, setidaknya memiliki lima tujuan, yaitu: menciptakan nilai (value), memperbaiki apa yang dilakukan sebelumnya, memberikan penghargaan dan memacu keberhasilan, menemukenali dan emluruskan kekeliruan, serta mendemonstrasikan nilai. Terlebih dalam praktik manajemen modern yang kian rasional, PR dituntut tidak hanya mengandalkan akal sehat (common sense) atau intuisi sebagai alat evaluasi. Lebih dari itu, PR memerlukan justifikasi untuk mendapatkan dana operasional yang dibutuhkannya untuk menjalankan setiap program PR.
Bila para praktisi pemasaran bisa menjadikan pencapaian volume penjulan sebagai  alat tawar-menawar dengan pihak manajemen, maka untuk kebutuhan yang sama, praktisi PR dapat menyodorkan ukuran-ukuran yang merepresentasikan kinerjanya, semisal: dominasi liputan media (coverage by dominance), nada pemberitaan (reporting tone), indeks efektivitas komunikasi, serta ukuran-ukuran lain sebagaimana banyak tersaji dalam buku ini.
Salah satu bagian menarik dalam buku ini adalah pembahasan khusus tentang bagaimana cara mengevaluasi kinerja unit PR atau Komunikasi Perusahaan dengan memanfaatkan metode Balanced Scorecard (BSC). Metode BSC yang pertama kali digagas Robert Kapplan dan David P. Norton dan menjadi sebuah sistem pengukuran yang sangat popular penerapannya di level korporasi, menilai kinerja perusahaan secara menyeluruh melalui empat perspektif, yaitu: perspektif keuangan (financial perspective), perspektif pelanggan (customer perspective) dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth perspective).
Evaluasi melalui BSC sangat membantu untuk mengukur keberhasilan kinerja unit PR sebuah perusahaan, salah satu masalah  paling krusial yang  kerap dihadapi oleh para praktisi PR. Untuk menjelaskan metode BSC dalam mengukur kinerja komunikasi perusahaan, buku ini bukan hanya menyajikan uraian yang bersifat konseptual, namun juga secara operasional melalui contoh-contoh perhitungan praktis disertai berbagai indicator yang relevan.
Secara umum buku ini menarik karena mengupas masalah pengukuran PR secara komprehensif dari sudut pandang praktisi. Kehadirannya menjadi penting, karena buku ini memuat pedoman yang sangat membantu  bagi praktisi untuk mengaplikasikan pengukuran secara nyata di bidang ke-PR-an, terlepas dari fakta bahwa ada beberapa indicator yang tersaji di dalamnya belum bersifat baku.
 

Penulis adalah pemerhati masalah Komunikasi dan Public Relations

Resensi Buku: Menghapus Mitos Kinerja Public Relations Sulit Diukur

Jumat, 05 Oktober 2012

CYBERPORN DAN MELEK MEDIA MAYA

Oleh Hadi Purnama

illustrasi:drjillandjudgepamshow.com



Internet harus diakui merupakan salah satu inovasi terbesar di abad ke-21, seperti halnya penemuan mesin cetak menjelang abad pertengahan. Melalui Internet berbagai peluang dan kesempatan baru hadir dengan kemampuan memperpendek dimensi ruang dan waktu. Namun, pada saat bersamaan – seperti galibnya teknologi - ternyata ada sisi gelap Internet. Internet ibarat kotak Pandora, karena sekali terbuka berhamburan berbagai hal negatif dari dalamnya. Salah satu “penumpang gelap” yang menyertai Internet adalah pornografi.
         Banyak istilah yang dilekatkan dengan merebaknya pornografi di dunia maya, termasuk Oxford Dictionary yang membuat lema cyberporn untuk menyebut fenomena ini. Pornogafi sejatinya bukan fenomena baru, karena nyaris seumur dengan peradaban manusia. Namun kehadirannya mendapatkan artikulasi baru melalui media online. Pornografi  bukan semata masalah asusila yang terkait langsung dengan masalah keagamaan, melainkan juga terkait aspek sosial, budaya, politik dan tentu saja alasan ekonomi. Paling tidak, selama terkait dengan urusan supply dan demand, maka  masalah cyberporn akan sangat sulit untuk diberantas.
Motif Ekonomi Pornografi
         Motif ekonomi menjadi salah satu alasan utama berkembangnya cyberporn, mengingat perputaran uang di seputar cyberporn menunjukkan angka yang sangat mencengangkan. Alasan ini pula yang mengundang banyak pihak untuk mengeruk keuntungan dari “bisnis besar” ini.  Data statistik menunjukkan industri cyberporn mampu meraup sekira Rp.14,5 triliun per tahun, atau setara Rp. 28 juta per detik! Sehingga tidak berlebihan bila Jerry Ropelato (dalam http://internet-filter-re-view.toptenreviews.com) memprediksi pendapatan industri pornografi melebihi pendapatan bersama Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo, Apple dan Netflix!
         Meski pembatasan terhadap pornografi terus  dengan berbagai cara, namun tidak pernah menyurutkan niat orang mengintip kecabulan di dunia maya. Dari aspek demografis penikmatnya sangat beragam, mulai anak di bawah umur sampai anggota parlemen yang terhormat. Bahkan jumlah para penikmat pornografi – yang kerap disebut voyeuris ini - menunjukkan kecenderungan terus meningkat, seiring bertambahnya jumlah pengguna Internet global.
         Dari jumlah pengguna Internet saat ini yang telah melebihi 2,2 milyar, diperkirakan setiap detiknya terdapat lebih dari 28 ribu pengguna yang melihat berbagai konten pornografi. Setiap detiknya sekira 372 pengguna Internet mela-kukan pencarian konten dewasa melalui search engines.
         Industri pornografi yang relatif minim modal ini terus tumbuh secara signifikan. Mengutip tulisan Ropelato, revenue dari cyberporn bergerak seiring kian mem-bengkaknya bisnis pornografi. Sebagai gambaran, di negeri Paman Sam saja dirilis satu video pornografi baru setiap setengah jam!
Program Melek Media Maya       
         Wajar bila kemudian cyberporn menjadi momok di Internet. Khususnya bila dikaitkan dengan keberadaan media maya di Indonesia dengan pengguna yang melebihi angka 55 juta. Ada banyak kecemasan muncul seiring merebaknya cyberporn: Pertama, kian familiar dan meningkatnya pengguna Internet di kalangan anak muda yang tergolong generasi digital natives, dengan berubahnya media habit dari media tradisional ke media media baru. telah menjadi rahasia umum peranan dan pengaruh media konvensional semisal koran, majalah dan televisi mulai digerus media online dan mobile phone.
         Kedua, keberadaan Internet yang nyaris omnipresent, karena dapat dikonsumsi dimana saja, kapan saja, dengan materi apapun. Ketiga, berbeda dengan konten media tradisional relatif telah melalui sensor, sejauh ini hampir tidak ada sensor terhadap materi di Internet. Meski pun di beberapa negara telah dilakukan sensor terhadap materi pornografi oleh pemerintah setempat, namun masih lebih banyak materi yang lolos. Bahkan materi pornografi kerap muncul pada  laman dengan nama yang sama sekali tidak berbau cabul!
         Banyak langkah yang dapat ditempuh untuk mengurangi bahaya cyberporn. Selain langkah protektif yang sejauh ini ditempuh oleh Kemeninfo yang memblokir situs cabul di Internet, juga perlu dilakukan langkah prefentif. Masayarakat harus menjadi subjek aktif dalam  pemberantasan cyberporn. Melek media menjadi kata kunci yang harus dipertim-bangkan mengatasi masalah ini.
         Keluarga menjadi basis utama gerakan melek media maya. Anggota keluarga sejak sangat dini diedukasi menggunakan Internet secara sehat dan proporsional, sehingga menyadari sisi positif  dan negatif Internet, termasuk bahaya yang bisa diakibatkan cyberporn. Kurang cerdas dan bijaksana bila hanya melarang tanpa mengedukasi bahaya cyberporn.
         Jadi, waspadalah karena cyberporn merupakan clear and present danger!

Penulis pemerhati media dan staf pengajar di Sekolah Komunikasi Multimedia, IMTelkom Bandung.