Oleh Hadi Purnama
Membaca adalah salah satu aktivitas
intelektual yang hanya dimiliki manusia, sekaligus menandai puncak peradaban
manusia setelah dikembangkannya sistem tulisan. Budaya membaca tidak tumbuh
begitu saja, karena sejarah umat manusia mencatat pengembangan sistem tulisan
melalui proses perjalanan yang sangat panjang.
Mulai dari sistem “tulisan” di atas tanah liat yang diperkirakan dikembangkan
sejak 3000 SM oleh bangsa Assyria yang mendiami kawasan yang kini dikenal
sebagai Irak. Kemudian bangsa Mesir kuno yang berdiam di daerah delta Sungai
Nil mengembangkan sistem tulisan hieroglif sekira 2500 SM , yang tertoreh di
atas lembaran papirus – sebagai cikal bakal kata paper yang bermakna kertas. Hingga akhirnya dikenalkan sistem alfabetis
yang dikembangkan bangsa Funesia yang diyakini berdiam di kawasan Lebanon.
Sejak dikenalnya sistem bahasa tertulis
peradaban manusia berkembang pesat, disusul berbagai penemuan alat yang mampu
mereproduksi pesan tertulis. Pasalnya, jauh sebelum dikembangkannya mesin cetak
oleh Johannes Gutenberg di tahun 1447, semua dokumen penting - termasuk buku -
diperbanyak secara manual dengan ditulis tangan. Revolusi Gutenberg telah mengubah budaya baca
di kalangan masyarakat Eropa, khususnya di abad 17 dan 18, karena media cetak
kian mudah didapat dengan biaya yang lebih terjangkau. Berpuncak pada abad
ke-19 saat terjadi Revolusi Industri di Eropa yang melahirkan teknologi massal,
termasuk di bidang percetakan buku dan surat kabar, yang mendorong bangkitnya
budaya ke hampir seluruh penjuru dunia.
Revolusi Informasi
Dua abad setelah Revolusi Gutenberg,
dunia dikejutkan lagi dengan “penemuan’ baru di bidang teknologi informasi dan
komunikasi. Hadirnya internet sebagai media baru dalam berkomunikasi dan
bertukar informasi dianggap sebagai revolusi berikutnya yang dipandang mampu
mengubah budaya baca.
Internet diyakini telah merevolusi
budaya baca manusia bukan saja karena memiliki keunggulan dalam kecepatan dan kapasitas
pengiriman pesan, namun telah mengubah tradisi membaca., dari budaya membaca
linear menjadi budaya membaca nonlinear.
Dalam budaya linear kita terbiasa membaca secara sekuensial dari satu baris ke
baris berikutnya,aliena per alinea, halaman per halaman. Dan itu telah
berlangsung berabad-abad lamanya dibentuk oleh media cetak!
Berbeda dengan internet dengan
teknologi multimedianya telah merevolusi cara membaca masyarakat – meminjam
istilah Barry Lowe dalam buku Journalism
in the Age of Multimedia (1996)
menjadi the nation of post
linearity. Di era serba internet, tanpa sadar kita telah digiring ke arah
budaya baca pascalinear, sehingga pada saat bersamaan selain membaca sebuah
teks, dapat mencari konten lain berupa teks, audio, data dan bahkan video! Ini
dimungkinkan berkat fitur hypertext
yang dimiliki internet. Karenanya,
internet memiliki kemmapuan menggabungkan berbagai konten dalam waktu nyaris
bersamaan.
Karenanya internet diprediksi akan memunculkan
fenomena baru yang ditandai kelimpahruahan informasi atau information redundancy. Melihat fenomena ini selayaknya pembaca di era internet
menjadi pelahap informasi. Namun, benarkah demikian? Bagimana pula dengan
kondisi di Indonesia?
Trivilalisasi Internet
Saat ini di Indonesia mereka yang telah
melek Internet dan menggunakannya diperkirakan lebih dari 30 juta dari jumlah
penduduk sekitar 240 juta jiwa. Dengan tingkat pertumbuhan pengguna internet
mencapai 1.400 persen dalam kurun waktu
10 tahun terakhir, menempatkan Indonesia di urutan kelima terbesar se-Asia, dan
menjadi bagian dari 2 milyar komunitas pengguna internet dunia.
Sayangnya, besarnya potensi pengguna Internet di Negara kita belum diiringi
dengan sikap dan perilaku yang konstruktif, semisal memanfaatkannya sebagai
gudang informasi dan ilmu. Pasalnya, berkaca dari keterangan Menkominfo Tifatul Sembiring yang menyatakan pemanfaatan
internet masih baru sebatas untuk kebutuhan chatting,
email, game online, dan untuk jejaring sosial, bukan untuk bisnis atau pendidikan.
Artinya, yang terjadi adalah trivilalisasi
penggunaan internet untuk urusan remeh-temeh. Padahal, kehadiran internet bukan
sekadar sebagai alat untuk chat dan
berbagai urusan remeh temeh lainnya. Sejatinya Internet di milennium kedua ini diharapkan mampu mengulang
bangkitnya budaya baca masyarakat, seperti pernah terjadi 500 tahun silam, pasca Revolusi Gutenberg di abad pertengahan. Terlebih
dengan karakteristik yang dimiliki Internet saat ini yang memiliki potensi maha
dahsyat sebagai “mesin” pencari informasi. Para pengguna internet bisa mengakses informasi lebih cepat, mudah,
dan murah. Dengan Internet setiap orang dapat mencari sekaligus mengunduh
jutaan bahkan milyaran teks, data dan gambar yang berasal dari ratusan juta website,
blog e-paper, e-book, e-journal hingga
e-encyclopedia di jagat internet.
Saat ini kita sedang berada di era
transisi menuju revolusi kedua budaya baca di era Internet, yang diharapkan
lebih mencerdaskan umat manusia.
Walahualam bisawab.
Penulis pemerhati media dan staf
pengajar Komunikasi Sekolah Komunikasi Multimedia, IMTelkom Bandung