Oleh Hadi Purnama
Konflik berbau
isu agama kembali meruyak di sejumlah negara di Timur Tengah, disulut sebuah
film picisan besutan studio independen di Amerika yang kini jadi trending topik
global: Innocence of Muslims!
Korban
jiwa bukan mulai berjatuhan tiga bulan setelah trailer film yang berbiaya produksi hampir 50 milyar ini diunduh di laman YouTube. Korban pertama yang dikabarkan
tewas akibat amukan massa yang marah karena penggamabaran yang melecehkan Nabi
Muhammad dalam film ini adalah Dubes AS untuk Libya, John Christopher Stevens.
Disusul korban tewas dari kalangan sipil para pengunjuk rasa di beberapa negara
Timur Tengah yang belum usai bergolak, diantaranya Libya, Mesir, Sudan dan
Tunisia.
Inilah
kali kesekian bentrokan berdarah yang dipicu oleh film, setelah empat tahun
silam film Fitna besutan sutradara sekaligus politisi sayap kanan Belanda,
Geert Wilders, beredar di situs Liveleaks.
Film Fitna yang berisikan pandangan
Wilders yang anti Islam, bukan hanya mengundang kecaman dari seantero penjuru
dunia, juga memompa perlawanan fisik dari kalangan umat Islam.
Bagaimana
kita menyikapi fenomena yang memprihatinkan ini agar tidak kembali berulang.
Jangan sampai ada darah tertumpah dan nyawa melayang percuma atas nama
kebebasan berekspresi
Arogansi Kebebasan Berekspresi
Sebelum
berlanjut pada pembahasan selanjutnya, penulis tergelitik mengajukan sederet
pertanyaan berikut ini: Benarkah kebebasan itu bersifat universal? Apakah
kebebasan berekspresi itu sepenuhnya bebas tanpa syarat? Apakah kebebasan berekspresi
tidak akan menimbulkan gesekan dan konflik sosial?
Persoalan
substansif pentingnya kebebasan sebagaimana diper-juangkan umat manusia selama
ini adalah hilangnya belenggu ketakutan
manusia untuk berekspresi. Kebebasan berekspresi – khususnya di
masyarakat yang berada di negara-negara barat
- dianggap menjadi landasan dalam membangun masyarakat demokratis. Tanpa
kecuali kebebasan berekspresi bukan saja di kancah politik tapi juga di bidang ilmu,
seni dan budaya. Masyarakat barat sudah cukup makan asam garam merasakan pahit
getirnya masa-masa penyalahgunaan kekuasaan yang memasung kebebasan,
memenjarakan kreativitas dan menjauhkan dari kesejahteraan.
Salah
satu tonggak kemenangan kebebasan berekspresi dituangkan dalam Amendemen
Pertama Konstitusi Amerika Serikat, yang disahkan pada 1791. Konstitusi hasil
amandemen ini membatasi kekuasaan pemerintah federal, sehingga warganegara
mendapat hak kebebasan yang lebih besar. Landasan konstitusi inilah yang
kemudian kerap ditafsirkan bahwa siapa pun memiliki kebebasan, tanpa kecuali
dalam mengekspresikan pandangannya dalam bentuk karya seni.
Atas nama kebebasan berekspresi banyak pihak menyampaikan
pendapat dan gagasannya individu dan kelompoknya di ranah publik. Arogansi
kebebasan berekspresi ini tidak jarang bertabrakan dengan hak pihak lain yang
tidak sepaham dan sepandangan. Dalam hal ini yang paling sering menimbulkan
gesekan sosial bila menyangkut persoalan sensitif, diantaranya keyakinan dan
agama.
Media dan Ke(tidak)bebasan Berekspresi
Begitu
pun dengan kebebasan berekspresi melalui media. Saatnya semua pihak harus lebih
arif menyikapi persoalan ini dari kacamata yang tidak sebatas mengatasnamakan
kebebasan berekspresi. Karena, dari setiap kebebasan yang menjadi hak seseorang
untuk menyampaikan pendapatnya, akan berhadapan dengan hak orang lain yang
belum tentu sesuai.
Terlebih
bila menyimak fungsi media saat ini, ketika peranan media tradisional mulai
tergerus oleh media baru yang mampu hadir dengan karakteristik relatif berbeda.
Media baru dengan ciri kesegeraan dan nyaris tidak dibatasi ruang dan waktu,
serta konsep hyperlink merupakan
kekuatan sekaligus kelemahannya.
Terlebih
dikaitkan dengan ekskalasi dunia pasca Tragedi 9/11 yang berpotensi dipicu
konflik SARA secara horisontal maupun vertikal, maka peran media saat ini –
baik tradisional maupun baru - dituntut
lebih selektif dalam menyuarakan kebebasan berekspresi individu dan kelompok.
Ini tidak identik dengan pemasungan berpendapat, melainkan semata media harus lebih
arif memainan perannya di tengah masyarakat dunia yang tengah berubah.
Pada
galibnya, media bukan semata memiliki fungsi hiburan, tetapi harus lebih
berperan aktif mewujudkan fungsinya sebagai penyedia informasi bagi
lingkungannya, menawarkan solusi atas suatu masalah, serta menyosialisasikan
sistem nilai yang lebih toleran.
Secara
normatif dan praktik, kedepan media harus berperan sentral menjadi salah satu
simpul pemersatu umat manusia yang sejatinya heterogen, bukannya mejadi pemecah
belah antar golongan. Media yang memiliki sensitifitas budaya, mampu menjadi
perekat dalam sebuah bingkai keberagaman. Serta mampu membangun pemahaman dari berbagai
perbedaan penafsiran.
Terkait
dengan tesis Samuel Hutington tentang
”Benturan Peradaban” (Clash of
Civilization), yang digambarkan terjadi kekuatan Barat dengan dunia Islam,
media harus berperan aktif menegasikan menjadi sebuah nubuat yang dipenuhi
sendiri. Itu semua dimungkinkan ketika media mampu meredefinisi konsep
kebebasan melalui media, yakni kebebasan yang tidak absolut.
Wallahualam bisawab.
*****
Penulis adalah pemerhati media dan dosen Ilmu Komunikasi di Sekolah
Komunikasi Multimedia, IMTelkom Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar