Oleh Hadi Purnama
(A Tribute to Dr. Elvinaro Ardianto)
Wajah
dunia saat ini memang telah berubah drastis seiring kian merasuknya peran dan
pengaruh internet di hampir setiap aktivitas manusia. Tanpa kecuali hal ini berdampak
pada praktik kehumasan di Indonesia. Kasus Prita Mulyasari yang bermula dari
opini yang diposting melalui blog
pribadi, kemudian menjadi studi kasus yang menunjukkan kegagapan para praktisi
kehumasan menghadapi era baru yang serba online.
Saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 2 milyar pengguna
internet di seluruh dunia, atau hampir sepertiga jumlah penduduk dunia saat ini
yang mencapai 6,9 milyar jiwa. Dan, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia
dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet terpesat. Karena saat ini diperkirakan
terdapat sekira 55 juta pengguna Internet dari lebih 240 juta penduduk
Indonesia.
Implikasi Media Online
Kehadiran
media online membawa implikasi serius bagi praktik kehumasan. Di satu sisi Internet
telah memudahkan diseminasi informasi dan komunikasi kepada pihak pemangku
kepentingan (stakeholder). Di sisi
lain stakeholder memiliki akses lebih besar untuk mengarrtikulasikan gagasannya
melalui media online. Terlebih ketika media online – khususnya web 2.0 -
membuka ruang lebih luas bagi stakeholder untuk berpartisipasi. Ini sejalan
dengan pernyataan CEO Sun Microsystem - Scott McNealy - bahwa “Kita telah
berpindah era abad informasi menuju era partisipasi.
Di era partisipasi setiap institusi
atau individu dapat bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen berita,
gagasan dan hiburan pada saat bersamaan. Terlebih lanskap web 2.0 menawarkan
sejumlah fasilitas seperti aplikasi web, content
sharing, filtering, dan jejaring
sosial (social network) yang
terepresentasikan diantaranya melalui Facebook,
Twitter, YouTube, Blogger, Wikis, Linkedin, Skype dan Digg.
Pergeseran ini tentu saja harus disikapi
serius oleh para praktisi humas, baik di lingkungan pemerintahan maupun swasta.
Karena kini “pertarungan wacana” ber-langsung tidak hanya melalui ranah media
massa konvensional. Kita telah memasuki
sebuah ekosistem media baru, yakni media online yang kini web 3.0. Selain
memiliki sejumlah keunggulan (advantages),
web 3.0 juga tidak bisa sepenuhnya dikontrol oleh para praktisi kehumasan
mengingat karakteristik unik yang melekat
pada media online seperti interaktifitas, hipertektualitas, bersifat
multimedia, personalisasi, real time,
serta berdaya jangkau global.
Dengan karakteristik yang tidak
dimiliki oleh media tradisional, pantas bila banyak pihak kemudian justru gagap
menggunakan web 3.0 sebagai tools
yang dapat membantu tugas kehumasan. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya,
salah satunya adalah adanya kesenjangan digital (digital divide) diantaranya dikarenakan masih terbatasnya akses
terhadap ICT, khususnya Internet, serta tingkat keterampilan melek dan
kemampuan menggunakan ICT secara efektif.
Sudah menjadi rahasia umum masih banyak praktisi humas –
terlebih mereka yang digolongkan sebagai digital
immigrants – kerap kali gaptek atau tidak begitu peduli dengan media
online. Digital immigrants merupakan Istilah yang dikenalkan oleh Marc
Prensky merujuk pada generasi yang lahir pra era digital. Mereka yang tidak
sepe-nuhnya memahami ekologi baru media online. Sehingga seringkali gagal meman-faatkan
segala kelebihan yang dimiliki media online. Sebaliknya, kontras dengan pengguna
media online saat ini yang mayoritas berasal dari generasi berjuluk digital native. Mereka yang berasal
sekaligus dibesarkan dari lingkungan yang serba digital, sehingga mengenal baik
karakteristik gadget beserta
perangkat lunaknya.
Pekerjaan Rumah Insan Humas
Padahal apabila praktisi humas mau dan
mampu memahami karakteristik media online, ada begitu banyak manfaat yang dapat
dipetik darinya. Selain mampu mendiseminasi informasi lebih cepat, dengan
jangkauan luas (global) serta konten yang lebih lengkap dan dalam (baik melalui
fasilitas hyperlink maupun fasilitas
multimedia dan multiplatform).
Komunikasi melalui media online selain memungkinkannya
update informasi secara berkala dalam
hitungan waktu real time, juga
mendorong tumbuhnya partisipasi diantara stakeholder. Ini semua akan bermuara
pada terbentuknya proses pemahaman lebih baik antara perusahaan/institusi
dengan stakeholder, melalui berbagai kanal media online.
Lebih jauh dari itu, para praktisi
humas akan memperoleh feedback dari stakeholder lebih cepat, langsung, dan
spontan, sebagai bahan pertimbangan untuk mengevaluasi program yang akan atau
telah dilaksanakan. Terlebih dengan
dukungan sistem komunikasi bergerak (mobile),
maka akan lebih mudah mendekatkan company
interest dengan public interest,
agar bidang irisan diantara keduanya kian bertambah lebar. Sebuah tugas tidak
ringan yang sejatinya memang diemban oleh insan humas dimanapun mereka
berkiprah. Bukankah ini menjadi salah satu tujuan utama kehumasan?
Barangkali inilah salah satu pekerjaan rumah yang harus
segera dituntaskan oleh insan humas yang mulai menapaki era baru, era
partisipasi. Tugas yang tidak ringan sudah seharusnya menjadi agenda bersama,
bukan saja bagi jajaran pengurus Perhumas melainkan juga setiap anggota
Perhumas dan praktisi kehumasan.
Semoga.
Penulis adalah dosen komunikasi dan pengurus Perhumas Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar