Oleh Hadi Purnama
”Does a fish know it’s wet?”
(Marshall McLuhan)
Tamsil McLuhan seolah menggambarkan
betapa si ”kotak ajaib” telah menjadi
bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia modern.
______
Sejarah
perjalanan televisi terentang lebih dari 80 tahun, sejak dikembangkannya cikal
bakal si “kotak ajaib” oleh Philo Farnsworth di penghujung tahun 20-an di
Negeri Paman Sam. Kini, televisi menjadi salah satu media massa yang paling
berpengaruh di muka bumi. Televisi - mengutip pendiri stasiun televisi berita
CNN Ted Turner - bukan lagi sekadar mendokumentasikan sejarah manusia, juga
ikut “membuat” sejarah. Mulai dari liputan pendaratan manusia pertama di Bulan
pada era 60-an hingga penyerbuan Pasukan Koalisi pada Perang Teluk I di awal
90-an.
Melihat
maraknya pertelevisian di tanah air dalam satu dekade terakhir, mengundang
kebanggaan sekaligus keprihatinan. Alih-alih televisi menjadi ikon peradaban
bangsa, simbol kemajuan teknologi, serta tumbuhnya fungsi infomasi, pendidikan
dan kontrol sosial, televisi telah menjadi media “penyeragaman” yang mencederai
prinsip keberagaman isi dan jenis tayangan (diversity
of content), terutama dengan kian maraknya praktik duplikasi program acara saat
ini.
Meski
kerap diperdebatkan di kalangan akademisi ihwal pengaruh televisi - makin
maraknya budaya kekerasan yang memicu konflik horisontal di tengah ma-syarakat,
merebaknya dekadensi moral seperti korupsi di hampir semua lini kehi-dupan,
mengakarnya budaya konsumtivisme masyarakat yang kian mendewakan materi, ditenggarai
dipicu dan disemaikan oleh televisi yang saat ini berdiri di garda terdepan
media maisnstream?
Terlebih
lagi di tengah masyarakat kita yang punya patron budaya menonton dan bukan
budaya membaca - yang diyakini menjadi fondasi utama terciptanya sebuah
peradaban maju. Maka deretan program tayangan berita, hiburan dan pendidikan yang
dikemas dalam berbagai variannya, bukan saja kerap mengabaikan prinsip
jurnalisme yang bertanggung jawab, mengabaikan norma-norma sosial, bahkan kurang
menginspirasi masyarakat. Belum lagi “tirani minoritas” yang diper-tontonkan
televisi yang mengukur “keberhasilan”
program acara semata dilandasi oleh rating,
dianggap menzalimi aspirasi mayoritas, seakan menjadi kelaziman dalam industri
televisi saat ini.
“Kotak Pandora”?
Padahal
televisi, seperti halnya media massa lain, juga memiliki sejumlah pe-ran
penting, diantaranya sebagai sumber informasi, belajar sosial, sarana komunal-isasi,
mengisi kesenggangan pertemanan hingga sarana kontemplasi bagi khala-yaknya.
Pertanyaannya, apakah pengelola stasiun televisi telah menjalankan peran-nya
secara optimal?
Di
saat menguatnya pandangan kritis - bahkan sinis – masyarakat terhadap televisi,
metafora televisi sebagai “Kotak Pandora”, seakan menguatkan stigma ma-syarakat
tentang televisi yang hanya mendatangkan keburukan, malapetaka, dan ke-mudaratan
saat tombol TV dinyalakan. Padahal metafora ini tidak sepenunya tepat!
Di tengah reaksi masyarakat yang kianberagam, arus besar
yang muncul da-lam beberapa dekade terakhir bermuara pada tumbuhnya kesadaran menjadi
kha-layak televisi yang lebih cerdas. Gerakan budaya yang bertajuk media literacy (melek media) ini juga
berlangsung di tanah air. Kampanye melek media bertajuk ”Gemas Pedas” (Gerakan Menonton
Sehat, Penonton Cerdas) yang pernah di Jawa Barat, atau ”Comel” (Cobalah
Menonton Lebih Sehat) di Propinsi Kepulauan Riau menjadi bukti kuatnya gerakan
budaya ini.
Untuk mengatasi sengkarut pertelevisian saat ini diperlukan
partisipasi dari para pemangku kepentingan, utamanya dari para pengelola
stasiun televisi. Ironis-nya, menunggu kesadaran dari para
pengelola televisi serta content provider
ibarat pepatah pungguk merindukan bulan. Pasalnya, masih sangat kuatnya
tarikan kepen-tingan komersial, ketatnya persaingan dalam
meraih jumlah penonton dan meme-rebutkan kue iklan, kerap dijadikan alasan
pengabaian kualitas program tayangan televisi.
Padahal taruhannya tidak main-main. Para pengelola stasiun televisi
mung-kin tidak sadar, pengabaian atas program acara berimplikasi serius, karena
mereka telah melalaikan kewajibannya membangun moral dan karakter bangsa!
Diberikannya
mandat publik kepada para pengelola stasiun untuk mengguna-kan frekuensi yang
sejatinya berada di ranah publik, mengandung konsekuensi me-reka harus menjalankan
amanahnya secara proporsional dan bertanggung jawab. dengan tayangan program
yang sehat dan bermanfaat bagi khalayaknya.
Langkah Kecil, Lompatan Besar
Melihat kondisi memprihatinkan pertelevisian nasional saat ini,
yang diwarnai dengan “malpraktik” oleh para pengelola stasiun televisi
mendorong kerinduan hadir-nya sosok stasiun televisi yang bisa memberikan
atmosfer baru. Bukan saja da-pat menyajikan pogram tayangan inspiratif dan
informatif dengan kemasan menarik bagi keluarga Indonesia, tetapi menjadi media
yang mampu memberikan pencerahan bagi masyarakat (Enlightening People) yang kian terpuruk ke dalam kubangan masa-lah multi
dimensional.
Kehadiran Kompas TV yang digadang-gadang mengusung visi dan misi
yang “berbeda” dengan stasiun TV yang telah ada, yakni mengemas program
tayangan news, adventure & knowledge,
serta entertainment yang
mengedepankan kualitas. Kita menunggu realisasi atas janji Kompas TV yang akan
mengejawantahkan kera-gaman nusantara dalam bentuk konten program tayangannya
yang akan meng-eksplorasi Indonesia, baik kekayaan alam, khasanah budaya, serta
talenta yang di-miliki bangsa, namun pada saat yang bersamaan program
tayangannya juga harus membumi.
Bila semua janji bisa ditampilkan utuh di layar kaca, sejatinya
langkah kecil Kompas TV akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah
pertelevisian Indonesia sebagai lompatan besar yang akan mengubah wajah televisi
sekaligus sejarah Indonesia kini dan di masa depan. Sebuah upaya cerdas dan
berani mendekonstruksi peran televisi.
Semoga berhasil!
Penulis pemerhati media & staf pengajar Komunikasi di
Sekolah Komunikasi Multimedia, di IMTelkom Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar