Oleh Hadi Purnama
Beberapa orang guru disidik pihak berwenang,
pasalnya ditenggarai menjadi whistleblower yang membongkar praktik kecurangan dalam ujian nasional lalu.
Tragisnya, tindakan para ”pembocor rahasia” ini justru ditanggapi skeptis
bahkan negatif oleh banyak pihak . ”Pembungkaman” guru yang masih memiliki hati
nurani ini sungguh sebuah ironi, di saat pemerintah berupaya memberantas berbagai
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di negeri .
*****
Membongkar praktik kecurangan dalam ujian nasional yang
dilakukan para guru, seharusnya dijadikan momentum pemberantasan korupsi di
semua lini kehidupan. Apa jadinya ketika institusi pendidikan sebagai benteng
terakhir kejujuran sebuah bangsa didan menjadi sasaran tembak pihak berwajib.
Padahal peran para ”pembocor rahasia” ini – dikenal dengan sebutan whistleblower – justru sangat dibutuhkan
di zaman edan seperti sekarang. Bukan hanya untuk kasus UN, tetapi di hampir
semua sektor kehidupan bernegara yang tengah dihimpit persaoalan besar:
korupsi.
Seorang whistleblower,
jelas berbeda dengan pemfintah atau penghasut, karena biasanya membocorkan
rahasia dengan itikad baik dibekali informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Misi mereka jelas, memperbaiki kebobrokan yang dibangun suatu sistem secara
sistemik.
Kasus Watergate merupakan salah satu contoh klasik betapa
whistleblower memegang peran kunci
dalam mengurai sebuah kecurangan. Kasus pembocoran rahasia praktik kecurangan politik
yang dilakukan dua wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl
Bernstein, menjadi bahan kajian wajib mahasiswa jurnalistik dalam kuliah
investigasi. Klimak dari kasus yang menggegerkan publik Amerika ini akhirnya
memaksa Presiden Nixon turun tahta sebelum
waktunya di tahun 1974.
Sukses pers dalam kasus Watergate tidak dimungkinkan
tanpa andil Deep Throat– sang
pembocor rahasia yang tetap dijaga jati dirinya. Kerahasiaan ini tetap dijaga rapi
oleh kedua wartawan legendaris tadi selama lebih dari tiga puluh tahun. Sampai
akhirnya W. Mark Felt, orang dalam FBI yang dijuluki Deep Throat ini membuka diri kepada publik saat memberikan
wawancara eksklusif di Vanity Fair dua tahun silam.
Kasus pembocoran rahasia yang dilakukan whistleblower, bukan saja terjadi di
kancah politik. Skandal akuntansi yang menyeret perusahaan raksasa
WorldCom dan Enron pada tahun 2001-2002
kian menguatkan peran para whistleblower
dalam mengungkap borok perusahaan yang berpotensi merugikan publik. Cynthia
Cooper dan Sherron Watkins masing-masing
petinggi di perusahaan WorldCom dan
Enron, berhasil menjadi ikon whistleblower
yang berani buka mulut untuk mengungkap kebenaran. Keduanya
akhirnya dinobatkan menjadi Persons of
The Year versi majalah Time edisi
akhir tahun 2002.
Perlu Payung Hukum
Bagaimana
dengan nasib whistleblower di Indonesia? Fenomena pembungkaman para pelapor praktik curang dalam
UN baru lalu, dan kasus para pemberi informasi dalam kasus suap peradilan
menunjukkan para pembocor informasi dalam masih posisi tidak aman.
Padahal saat ini Indonesia memerlukan lebih banyak orang
yang berani buka mulut saat melihat praktik curang. Merebaknya praktik korupsi
di hampir semua bidang kehidupan, tidak mungkin diatasi tanpa peran serta whistleblower. Meski para hamba hukum
sudah bisa menerapkan asas pembuktian terbalik, tetapi entry point atas kasus
korupsi sangat bergantung pada pemberi informasi awal.
Persoalannya, sudahkah kita menyiapkan sistem dan
perangkat hukum yang mampu melindungi para ”martir informasi” ini? Tanpa itu
semua, siapa pun ogah kalau harus
mati konyol setelah memberikan informasi penting.
Kita patut bercermin dari pengalaman pasca kasus WorldCom
dan Enron di Amerika. Setelah diguncang skandal akuntansi keuangan yang
menggegerkan bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan kedua perusahaan
raksasa tersebut, lahirlah
Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. SOA 2002 menjadi instrumen yang harus dipatuhi
perusahaan yang terdaftar di pasar saham AS. Ibaratnya, inilah payung hukum
yang akan melindungi whistleblower.
Salah satu pasal SOA 2002 mengatur, perusahan tidak akan
menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengancam, mengintimidasi atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan
yang melakukan pelaporan sesuai prosedur dan didasarkan itikad baik.
Begitu pun dengan payung hukum lainnya, semisal
undang-undang perlindungan saksi. Instrumen hukum yang jelas akan memberikan
nyali bagi whistleblower melaporkan
setiap kecurangan yang dilakukan di sebuah institusi.
Sebuah survei yang dilakukan Association of Certified Fraud Examiner menunjukkan bahwa deteksi
awal yang berasal dari pengaduan karyawan, pelanggan dan pihak-pihak yang
berkepntingan lainnya jauh lebih efektif bahkan dari informasi pihak berwajib.
Program whistleblower sudah
diterapkan di banyak perusahaan besar, terutama yang sudah listing di bursa saham, salah satunya oleh PT Telkom.
Budaya ”Berani Buka Mulut”
Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi saat ini,
program whistleblower harus menjadi
komitmen semua pihak, terlebih pemerintah. Budaya ”Berani Buka Mulut” harus
menjadi gerakan sosial yang difasilitasi semua lapisan masyarakat, khususnya
dari elit politik.
Dengan begitu banyak kecurangan, penyelewengan, dan
korupsi di sekitar kita. Mustahil diberantas tanpa keberanian dari para whistleblower. Berani buka mulut?
Penulis pemerhati media, staf pengajar Komunikasi di Sekolah Komunikasi
Multimedia, di IMTelkom Bandung
Pertanyaannya: Apakah whistleblower yang bermunculan itu karena adanya kepentingan yang tak mereka dapatkan sehingga terpaksalah mereka menjadi "pengkhianat"? Semoga saja tidak karena kita mengaharapkan di zaman serba edan ini msh ada pribadi jujur dalam diri manusia-manusia. Walahualam.
BalasHapuspendeteksian awal memang baik, seperti penerapan whistleblowing system di PT Telkom tersebut. Tetapi, akan lebih baik lagi jika bisa mencegah fraud tersebut sebelum fraud tersebut terjadi. yang jadi akar masalahnya, bagaimana caranya??
BalasHapus