Dari gempa besar dan tsunami meluluhlantakan Aceh,
disusul semburan lumpur panas di Sidoarjo, merebaknya wabah flu burung dan
demam berdarah, hingga bencana banjir yang hampir ”menenggelamkan” Jakarta, seakan tiada hari tanpa bencana di tanah air.
Semuanya terekam menjadi berita utama di surat kabar, radio terutama di layar kaca.
Pertanyaannya, seberapa tanggap dan seberapa besar peran media
massa dalam mewacanakan peristiwa bencana dalam agenda pemberitaannya?
Persoalan ini menjadi relevan ketika insan pers dan media massa akan
memperingati Hari Pers Nasional. Terlebih di era kebebasan sekarang, ketika
insan pers punya ruang ekspresi sangat lebar, untuk mendefinisikan ulang
perannya dalam melayani publik.
Benarkah kebebasan pers membawa pengaruh kepada media lebih loyal dan lebih pro rakyat. Karena
rakyat merupakan subjek -sekaligus objek – dalam setiap peristiwa bencana?
Merumuskan Kembali Bencana
Sphere Project di tahun 2000 merumuskan bencana sebagai suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah
gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luar biasa, baik karena
peristiwa alam ataupun perbuatan manusia. Dengan rumusan seperti
ini, begitu beragam dan lebar spektrum bencana yang terjadi di sekitar kita
selama ini. Selama ini kita beranggapan bencana alam muncul begitu saja tanpa
campur tangan atau sebagai dampak perbuatan manusia. Padahal, dibandingkan
dengan bencana alam - yang sepenuhnya di luar kendali kita - bencana yang
timbul akibat perbuatan manusia jenis dan frekuensinya lebih banyak.
Laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebutkan,
selama kurun waktu lima tahun (1998-2004), terjadi 1.150 kali bencana di
Indonesia. Rentetan bencana yang diperkirakan menelan korban jiwa 9900, dengan
kerugian hampir Rp.6 triliun, didominasi oleh tiga jenis bencana utama yakni:
banjir (402 kali); kebakaran (193 kali); dan tanah longsor (294 kali). Angka
korban jiwa dan jumlah kerugian materi akan bertambah besar bila memasukkan
data yang diakibatkan rangkaian bencana
tsunami, gempa bumi, banjir, pembalakan hutan dan semburan lumpur panas yang
berlangsung dalam dua tahun terakhir.
Merujuk pada rumusan bencana yang dibuat Sphere Project,
jelas bahwa ragam dan rentang bencana jauh lebih banyak. Bahkan, dengan merujuk
rumusan tadi, hampir sebagian besar bencana berpangkal dari perbuatan manusia.
Banjir, kebakaran (terutama hutan), dan tanah longsor adalah tiga contoh
bencana alam yang ditengarai sebagai ”respon alam” terhadap penghancuran
ekosistem secara sistematis. Pembalakan liar hutan, pengalihfungsian lahan yang
sembrono, pengrusakkan sumber daya alam dan lingkungan yang berlangsung secara
sistematis menjadi pemicu munculnya bencana lingkungan.
Meminjam rumusan Kartodihardjo dan Jhamtani, rangkaian
bencana lingkungan dalam beberapa dekade terakhir sebagai bencana pembangunan.
Artinya bencana multidimensi sebagai faktor krisis lingkungan yang diakibatkan
pembangunan dan gejala alam ini diperburuk oleh pengrusakkan alam dan
lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial.
Kerakusan Ekonomi
Pembangunan di Indonesia dan kebanyakan negara miskin
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sejatinya bertujuan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Tetapi, untuk mewujudkan rencana muluk yang tertuang di
atas kertas ini nyatanya tidak semudah membalik telapak tangan.
Program pembangunan fisik dan sosial berubah menjadi
binatang ekonomi rakus ketika berada di tangan rejim penguasa yang sangat
korup. Kepentingan pengekalan kekuasaan rejim didukung kepentingan ekonomi global perusahaan perusahaan transnasional,
telah menjadi sebuah konspirasi yang menghancurkan ekosistem.
Dampak bencana lingkungan bukan hanya menelan korban jiwa
dan benda, melainkan mulai menjadi ancaman signifikan pada tiga sektor utama
prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air, pangan dan energi. Dalam
laporannya Walhi mencatat, sekira 70 persen air tanah di Jakarta menunjukkan
kondisi tidak layak untuk dikonsumsi. Kondisi yang sama terjadi di hampir semua
kota besar di Indonesia, ketika daya dukung alam sudah tidak mampu mengimbangi
laju pertumbuhan penduduk. Ironisnya, memburuknya konservasi air tanah malahan
menjadikan air menjadi komoditas bisnis bernilai sangat tinggi.
Di sektor pangan, revolusi hijau yang diterapkan
pemerintah selama tiga dekade silam yang diyakini mampu mewujudkan swasembada
pangan, malah berujung tragis. Selain kehilangan 75% dari
sekira 12.000 varietas padi lokal, dan sangat bergantung pada pupuk dan
pestisida kimia, negara kita menjadi pengimpor beras sejak pertengahan dekade
90-an. Kondisi ini kian diperburuk dengan diberlakukannya sistem ekonomi dan
perdagangan bebas yang menerapkan mekanisme pasar bebas, yang memaksa
negara-negara miskin menjadi sangat bergantung pada pemenuhan pangan dari
negara-negara maju.
Bencana pangan berdampak pada hilangnya keragaman bahan
pangan rakyat, karena ”politik beras” yang dijalankan oleh rejim orde baru. Diperparah
oleh krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1997, bencana kelaparan merebak bukan
saja di daerah pelosok rawan pangan hingga
daerah lumbung beras di hampir seluruh pelosok tanah air.
Begitu pun dengan kedaulatan energi. Dengan tingkat
konsumsi yang cenderung meningkat, 90 persen kebutuhan energi rakyat sangat
bergantung kepada BBM. Padahal penguasaan cadangan minyak, gas bumi, dan sumber
daya alam yang berpotensi menghasilkan energi dikuasai perusahaan-perusahaan
transnasional. Data menunjukkan lebih
dari 75% cadangan minyak Indonesia dieksploitasi. Di masa depan,
kedaulatan energi bangsa kita menghadapi ujian sangat serius.
Singkatnya, rangkaian bencana yang seakan tak berujung
ini berdampak bukan hanya pada korban jiwa dan benda, namun berdampak pula pada
produksi pertanian dan peternakan, tercemarnya sumber air, terhentinya produksi
sektor industri, serta masalah sosial yang lebih luas seperti pengungsi dan
migrasi penduduk. Sebagai contoh, kerugian materi yang harus ditanggung para
peternak unggas akibat wabah flu burung untuk tiga bulan ke depan saja ditaksir
Rp. 1 triliun. Belum lagi kerugian dari berbagai bencana yang lain.
Redefinisi Peran Media
Rentannya negara kita dari ancaman bencana lingkungan dan
kemanusiaan, mengharuskan media keluar dari peran standardnya. Terlebih dengan ”kontrak
sosial” media kepada publik. Redefinisi peran media, khususnya dalam isu
bencana, menjadi sebuah keniscayaan sejarah.
Pertama, peran media tidak
cukup sekadar sebagai peliput dan penyampai informasi bencana. Media kini harus
lebih proaktif mengedukasi publik seraya membangun masa kritis (critical mass) dalam
membangun paradigma masyarakat yang sangat berorientasi pada lingkungan. Media
harus berani menjadi ujung tombak sekaligus ”martir” yang akan menjaga lingkungan
dari kerakusan para pelaku ekonomi.
Kedua, media harus berani menjadikan lingkungan sebagai isu
sentral dalam agenda pemberitaan. Maknanya, setiap pemberitaan pembangunan akan
senantiasa mempertimbangkan dan memprediksi dampaknya bagi lingkungan. Media
tidak terpancing menjadi corong kepentingan bagi para elit politik dalam wacana politik yang
berorientasi pada kekuasaan.
Ketiga, media harus mampu membangun sistem peringatan dini,
dalam upaya kesiagaan masyarakat saat menghadapi
bencana. Pilihan yang harus ditempuh media mengingat masih lemahnya sistem
peringatan dini bencana oleh pemerintah. Peran terakhir ini mulai dipraktikan
sejumlah media massa, terkebih paska
bencana tsunami dan karamnya KM
Senopati.
Melalui redefinisi peran media, kita berharap masyarakat
dapat terhindar dari ancaman bencana lingkungan yang lebih dahsyat. Setidaknya
kita mampu meminimalkan jumlah kerugian jiwa dan benda saat bencana tiba.
Wallahualam bisawab.
(Dimuat 6 Februari 2007 di Rubrik Opini HU Pikiran
Rakyat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar