Oleh: Hadi Purnama
Timur Tengah menjadi kawasan paling berdarah bagi para
jurnalis.
Di kawasan ini sedikitnya 22 jurnalis dan awak media
dilaporkan tewas selama kurun waktu 2011.
Seperti termuat pada laporan terbaru Asosiasi
Suratkabar dan Penerbit Berita Dunia (WAN-IFRA), kriminalisasi terhadap
jurnalis dan awak media masih terus ber-langsung. Dilaporkan pada tahun 2011
sedikitnya 64 orang jurnalis dan awak media tewas, sepertiganya terengut di
kawasan Timur Tengah. Selebihnya terjadi di 27 negara yang terentang di berbagai
kawasan di dunia, mulai dari Asia, Amerika Selatan, Afrika hingga ke Eropa.
Dalam konteks global terjadi eskalasi
kekerasan terhadap jurnalis dan awak media pada umumnya. Bahkan tindak
kekerasan yang berujung kematian di kalangan jurnalis cenderung meningkat dalam
kurun waktu tiga belas tahun terakhir. Fenomena kematian jurnalis menunjukkan peningkatan
yang kian mencemaskan.
Meningkatnya Kekerasan
Data WAN-IFRA menunjukkan adanya lonjakan
jumlah kasus kekerasan serta korban tewas di kalangan jurnalis selama periode 1998-2011. Di tahun 1998
jurnalis yang tewas ”baru” berjumlah 28 orang. Pada tahun 1999 angkanya
melonjak hingga 250 persen menjadi 70 jurnalis dari berbagai kawasan di dunia dinyatakan
tewas aki-bat kekerasan.
Di tahun-tahun berikutnya tingkat
kekerasan terhadap jurnalis cenderung menu-run dibandingkan dengan tahun 1999. Meski
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian di tahun 1998. Namun di
tahun 2004 angkanya kembali melonjak menembus jumlah 72 orang. Dan, puncaknya
terjadi di tahun 2006 ketika 110 orang jurnalis dan awak media tewas di seluruh
dunia. Artinya bila direratakan sekitar sembilan jurnalis tewas setiap bulannya
pada tahun itu. Di tahun 2011 angka kematian yang terjadi di kalangan jurnalis
yang diakibatkan oleh kekerasan cenderung turun. Bahkan yang terendah sejak
tahun 2007 (lihat tabel).
Data Jurnalis Yang Tewas
Di Seluruh Dunia (Periode 1998-2011)
Tahun
|
Jumlah
|
1998
|
28
|
1999
|
70
|
2000
|
53
|
2001
|
60
|
2002
|
46
|
2003
|
53
|
2004
|
72
|
2005
|
58
|
2006
|
110
|
2007
|
95
|
2008
|
70
|
2009
|
99
|
2010
|
66
|
2011
|
64
|
Dari penelusuran WAN-IFRA, umumnya para
jurnalis tewas di kawasan konflik. Baik yang diakibatkan oleh konflik politik
seperti terjadi di Libya, Mesir, Syria, Tunisia, Yaman, maupun yang dipicu oleh
perseteruan diantara kartel obat bius seperti di kawasan Amerika Latin.
Seperti telah disinggung di awal tulisan, kawasan
konflik yang paling membahayakan keselamatan para jurnalis selama tahun 2011
adalah negara-negara di kawasan Timur Tengah. Menurut WAN-IFRA, negara-negara
Arab menjadi kawasan yang paling tidak bersahabat bagi jurnalis. Musim Semi
Arab (Arab Spring) – sebutan untuk
revolusi sosial yang terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah – yang
sejatinya tengah menegakkan demokrasi justru menjadi pemicu paling eksplosif
dan membahayakan bagi keselematan jurnalis yang bertugas di kawasan itu.
Revolusi yang bermula di Tunisia kemudian
meruyak ke negara lain, termasuk Bahrain, Yaman, Syria, kemudian ”menyeberang”
ke Afrika diantaranya Mesir dan Libya menjadi ”ladang pembantaian” bagi enam
belas jurnalis yang tengah meliput berbagai peristiwa kerusuhan. Begitupun
dengan Irak, pasca tumbangnya Saddam Hussein, tahun lalu meminta tumbal enam
jurnalis lokal dan internasional.
Selain di Timur Tengah, kriminalisasi pers
dalam bentuk tindak kekerasan juga berlangsung di berbagai negara di seluruh
dunia selama tahun 2011. Di kawasan Amerika Tengah dan Amerika Selatan tercatat
enam belas jurnalis tewas di
delapan negara, dengan Meksiko sebagai
negara yang paling banyak menelan korban jiwa.
Disusul kemudian oleh Afrika, yang sejak
lama dikenal sebagai kawasan konflik. Selain di Somalia, kekerasan terhadap
jurnalis berlangsung di Uganda, Republik Kongo, Sierra Leone, Somalia, Libya
dan Mesir. Di Libya tercatat lima jurnalis tewas selama revolusi sosial yang
berhasil melengserkan Muammar Khadaffy. Sedangkan revolusi di Mesir menyebabkan
dua jurnalis kehilangan nyawa.
Eskalasi konflik yang nyaris tidak
berkesudahan di kawasan Timur Tengah dan Afrika akan berlanjut hingga tahun
2012. Ini dibuktikan dengan terus bergejolaknya aksi penuh kekerasan di Mesir,
Libya, Yaman, Tunisia dan Syria. Bahkan krisis politik berkepanjangan di Syria
hingga Januari 2012 telah menelan korban seorang awak media TV Perancis, Gilles
Jacquier.
Sedangkan Asia menjadi kawasan berbahaya
bagi jurnalis. Tahun 2011 silam tercatat 19 jurnalis tewas di kawasan ini.
Kasus kekerasan yang berujung kematian terjadi di empat negara, yakni di Pakistan
(10), India (2), Filipina (2), Thailand
(1), dan Vietnam (1). Pakistan menjadi rawan bagi para jurnalis, karena
diyakini menjadi sarang teroris internasional dan gembong obat bius, menginggat
berbatasan langsung dengan Afghanistan.
Selain
kriminalisasi dalam bentuk kekerasan fisik yang menyebabkan hilangnya nyawa
jurnalis, maka lebih banyak lagi kasus-kasus kekerasan fisik dan nonfisik yang
menimpa jurnalis di seluruh dunia. Bahkan WAN-IFRA pun tidak memiliki data
akurat untuk kasus kriminalisasi yang lain.
Kriminalisasi Pers di
Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Meski tidak
masuk ke dalam daftar WAN-IFRA, kriminalisasi terhadap jurnalis dan awak media
di tanah air masih mengkhawatirkan. Bahkan dilihat dari angka kejadian, kasus
kekerasan terhadap jurnalis selama empat tahun terakhir menunjukkan trend
peningkatan. Bila pada tahun 2008 terdapat 60 kasus kekerasan, sedikit menurun
menjadi 40 kasus di tahun 2009, kembali naik ke angka 69 di tahun 2010, dan
angkanya melonjak jadi 96 kasus pada tahun 2011.
Menurut LBH Pers, kasus kriminalisasi
terhadap pers memiliki bentuk cukup beragam. Mulai dari demonstrasi,
intimidasi, penyanderaan, tuntutan hukum, larangan meliputm pemukulan, hingga
pembunuhan. Beberapa kasus kriminalisasi terhadap jrunalis dan institusi pers
ada yang berhasil diselesaikan, baik
dengan ”jalan damai’ maupun lewat jalur hukum. Tetapi, masih banyak
kasus yang hingga kini tetap menggantung. Salah satunya kasus pembunuhan
jurnalis Udin yang tewas bebera[a tahun silam.
Dengan masih menggunungnya kasus
kriminalisasi pers, maka menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan bukan
saja oleh insan pers, melainkan seluruh pemangku kepentingan. Selain mengurangi
tindak kekerasan terhadap jurnalis, juga harus memrioritaskan penuntasan
berbagai kasus hukum yang melibatkan insan dan institusi pers. Mengingat peran
penting pers sebagai Pilar Keempat yang akan mengawal berlangsungnya proses
demokratisasi di negeri ini, hanya mungkin terwujud manakala keselamatannya
terjamin.
Semoga!
Penulis adalah pemerhati media dan Staf
Pengajar Sekolah Komunikasi Multimedia, Institut Manajemen Telkom Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar