Oleh HADI PURNAMA
Sebuah
karikatur dimuat sebuah harian nasional yang menyindir tahun 2011 sebagai tahun
penuh dusta. Jelas ini bukan sekadar sindiran tetapi kecemasan sekaligus tamparan
terhadap kesadaran kolektif kita.
Tamparan bagi sebuah bangsa yang selama
berpuluh tahun terkesan membiarkan dirinya masuk ke dalam pusaran kolektif, menggiring
ke dalam dalam labirin kebohongan tak berujung.
Setiap hari beragam kebohongan, yang
melibatkan politisi, para penegak hukum, pengusaha, hingga entertainer
dipertontokan secara banal dan massif melalui media massa. Seakan media massa telah
menjadi “etalase” kebohongan bagi para pelakunya Perilaku menyimpang itu dengan
mudahnya dapat ditiru oleh siapapun yang ingin menjadikan bohong sebagai sebuah
“ideologi” baru.
Disebut ideologi, karena berbohong sudah
dianggap sebuah way of life alias
jalan hidup bagi sebagian besar orang untuk mewujudkan impian hidupnya. Bahkan
kebohongan menjadi kendaraan untuk meraih kekayaan dan kekuasaan. Tentu saja
melalui jalan pintas dan instan, meski harus menerabas norma budaya, etika
bahkan rambu-rambu hukum. Tidak berlebihan bila menyebut korupsi – yang
digolongkan sebagai kejahatan luar biasa – merupakan pengejawantahan dari
praktik bohong yang kian sistemik di tengah masyarakat.
Bahkan praktik haram ini senantiasa
berkelindan dengan bohong. Karena dalam praktiknya korupsi selalu diawali dan
diakhiri denga kebohongan. Para koruptor
akan selalu menutupi satu kebohongan dengan kebohongan yang lain,
meski harus membohongi hati nuraninya
sendiri, dan Tuhan!
Sebuah kebohongan atau dusta merupakan proses pengabaian atas
kebenaran, sehingga pihak lain mau menerima suatu pernyataan atau perilaku sebagai kebenaran. Seringkali kebohongan
dilakukan untuk mengelabui akal sehat dan logika manusia.
Survival
of the Fittest
Secara fenomenologis kebohongan dapat
didekati dari berbagai perspektif. Bagi para evolusinis bohong merupakan fenomena
dari survival of the fittest.
Berbohong menjadi salah satu mekanisme pertahanan diri mahluk hidup agar bisa survive. “Berbohong” di lingkungan satwa
dan tumbuhan sedikitnya berlatar motif menghindari bahaya dan atau mencari
mangsa. Bunglon dan Kantung Semar menjadi salah contoh paling kongkrit spesies dengan
kemampuan kamu-flase untuk menghindari bahaya sekaligus mencari mangsa. Melalui kemampuan
memanipulasi
lingkungan banyak spesies mampu bertahan hidup selama ribuan bahkan jutaan
tahun di muka bumi.
Bagaimana dengan manusia? Meski tidak
persis sama, manusia pun “dianugerahi” kemampuan manipulatif yang berkembang
seiring dengan evolusi otak manusia, yang memiliki kemampuan lebih kompleks dari spesies lain.. Ironisnya, motif berbohong
yang dimiliki manusia juga lebih complicated.
Tidak sekadar digunakan sebagai mekanisme pertahanan diri, pada spesies tumbuhan dan hewan, melainkan
juga cara untuk mencari informasi, menggungguli, hingga upaya untuk menguasai
dan menaklukan pihak lain.
Suka atau tidak, berbohong justru dipraktikan
dalam kehidupan sehari-hari untuk beragam tujuan, termasuk tujuan “positif”,
baik secara terselubung maupun terang-terangan. Misi intelijen secara
terselubung kerap dilakukan aparat keamanan maupun staf markting perusahaan.
Selain itu peliputan investtigatif juga “menghalalkan” taktik dusta dalam
upayanya menghimpun informasi dari narasumber. Bohong disini diletakkan dalam
konteks positif, sebagai upaya menghimpun informasi penting.
Dalam tipologi bohong, ada yang disebut
sebagai “bohong putih” (white lie).
Bohong putih bahkan mendapat “justifikasi”, termasuk dari sudut pandang agama.
Terutama bila bohong putih bermanfaat dari dimensi hubungan horisontal. Juga
berlaku di kalangan medis, dalam batas tertentu dokter punya otoritas berbohong
untuk tidak menyampaikan ketika informasi faktual tentang kondisi pasien,
sebagai upaya membangun harapan hidup yang bersangkutan.
Meski demikian, bohong tetap harus diberikan
stigma negatif, mengingat dampaknya yang destruktif. Semestinya tidaka toleransi
untuk berbohong (zero tolerance),
Karena, mengutip Thomas Jefferson, “sekali kita berbohong akan diikuti oleh
kebohongan berikutnya sehingga akan menjadi sebuah kebiasaan“. Bahkan berbohong
cenderung menumpulkan hati nurani sekaligus melecehkan akal sehat manusia.
Kebohongan secara gradual akan mengikis kemampuan kita untuk membedakan antara yang
benar dan salah, antara yang baik dengan buruk.
Bohong dan Korupsi
Yang menjadikan keprihatinan kita
semua, saat ini berbohong bukan saja menjadi way of life juga telah menjadi jalan pintas (shortcut) bagi segelintir orang untuk mendapatkan kekayaan,
kekuasaan, bahkan untuk lepas dari jerat hukum. Ironisnya kebohongan ini
dipertontonkan oleh mereka yang berada di tampuk kekuasaan, seperti para aparatur negara, politisi, pengusaha papan
atas, bahkan pemuka agama.
Merajalelanya praktik kebohongan yang
berkelindan dengan tindak korupsi mulai kasus Gayus, kasus Nunun, kasus
Century, hingga kasus Nazaruddin, semuanya berakar dari sikap dan perilaku
manipulative, akan kian sulit diberantas. Mengutip ucapan Thomas Jefferson,
“sekali kita berbohong akan diikuti oleh kebohongan berikutnya sehingga akan
menjadi sebuah kebiasaan“. Maka prinsip dasar berbohong ibarat sebuah ritual
yang cenderung dilakukan secara berulang.
Ironisnya, di tengah sulitnya
memberantas tindak manipilatif tadi, mereka yang berupaya menegakkan kejujuran justru
dicemooh bahkan diasingkan. Seperti yang menimpa sebuah keluarga yang diusir
warga karena berupaya membongka kecurangan dalam pelaksanaan UN di sekolahnya.
Akhirnya, ketika kebohongan telah
dianggap sebagai kelaziman, dan menjadi panglima dalam berkehidupan. maka
tatanan sosial yang beretika cepat atau lambat akan roboh. Ketika tidak ada
kemauan kolektif menghentikan praktik bohong, maka negeri ini telah bersalin
rupa menjadi Republik (Para) Pembohong, yang sedang menghancurkan dirinya
sendiri.
Penulis
adalah staf pengajar Sekolah Komunikasi Multimedia, Institut Manajemen Telkom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar