Kamis, 11 Oktober 2012

ATAS NAMA KE(TIDAK)BEBASAN MEDIA



Oleh Hadi Purnama

Konflik berbau isu agama kembali meruyak di sejumlah negara di Timur Tengah, disulut sebuah film picisan besutan studio independen di Amerika yang kini jadi trending topik global: Innocence of Muslims!

Korban jiwa bukan mulai berjatuhan tiga bulan setelah trailer film yang berbiaya produksi hampir  50 milyar ini diunduh di laman YouTube. Korban pertama yang dikabarkan tewas akibat amukan massa yang marah karena penggamabaran yang melecehkan Nabi Muhammad dalam film ini adalah Dubes AS untuk Libya, John Christopher Stevens. Disusul korban tewas dari kalangan sipil para pengunjuk rasa di beberapa negara Timur Tengah yang belum usai bergolak, diantaranya Libya, Mesir, Sudan dan Tunisia.
Inilah kali kesekian bentrokan berdarah yang dipicu oleh film, setelah empat tahun silam film Fitna besutan sutradara sekaligus politisi sayap kanan Belanda, Geert Wilders, beredar di situs Liveleaks. Film Fitna yang berisikan pandangan Wilders yang anti Islam, bukan hanya mengundang kecaman dari seantero penjuru dunia, juga memompa perlawanan fisik dari kalangan umat Islam.
Bagaimana kita menyikapi fenomena yang memprihatinkan ini agar tidak kembali berulang. Jangan sampai ada darah tertumpah dan nyawa melayang percuma atas nama kebebasan berekspresi
Arogansi Kebebasan Berekspresi
Sebelum berlanjut pada pembahasan selanjutnya, penulis tergelitik mengajukan sederet pertanyaan berikut ini: Benarkah kebebasan itu bersifat universal? Apakah kebebasan berekspresi itu sepenuhnya bebas tanpa syarat? Apakah kebebasan berekspresi tidak akan menimbulkan gesekan dan konflik sosial?
Persoalan substansif pentingnya kebebasan sebagaimana diper-juangkan umat manusia selama ini adalah hilangnya belenggu ketakutan  manusia untuk berekspresi. Kebebasan berekspresi – khususnya di masyarakat yang berada di negara-negara barat  - dianggap menjadi landasan dalam membangun masyarakat demokratis. Tanpa kecuali kebebasan berekspresi bukan saja di kancah politik tapi juga di bidang ilmu, seni dan budaya. Masyarakat barat sudah cukup makan asam garam merasakan pahit getirnya masa-masa penyalahgunaan kekuasaan yang memasung kebebasan, memenjarakan kreativitas dan menjauhkan dari kesejahteraan.
Salah satu tonggak kemenangan kebebasan berekspresi dituangkan dalam Amendemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat, yang disahkan pada 1791. Konstitusi hasil amandemen ini membatasi kekuasaan pemerintah federal, sehingga warganegara mendapat hak kebebasan yang lebih besar. Landasan konstitusi inilah yang kemudian kerap ditafsirkan bahwa siapa pun memiliki kebebasan, tanpa kecuali dalam mengekspresikan pandangannya dalam bentuk karya seni.
Atas nama kebebasan berekspresi banyak pihak menyampaikan pendapat dan gagasannya individu dan kelompoknya di ranah publik. Arogansi kebebasan berekspresi ini tidak jarang bertabrakan dengan hak pihak lain yang tidak sepaham dan sepandangan. Dalam hal ini yang paling sering menimbulkan gesekan sosial bila menyangkut persoalan sensitif, diantaranya keyakinan dan agama.
Media dan Ke(tidak)bebasan Berekspresi
Begitu pun dengan kebebasan berekspresi melalui media. Saatnya semua pihak harus lebih arif menyikapi persoalan ini dari kacamata yang tidak sebatas mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Karena, dari setiap kebebasan yang menjadi hak seseorang untuk menyampaikan pendapatnya, akan berhadapan dengan hak orang lain yang belum tentu sesuai.
Terlebih bila menyimak fungsi media saat ini, ketika peranan media tradisional mulai tergerus oleh media baru yang mampu hadir dengan karakteristik relatif berbeda. Media baru dengan ciri kesegeraan dan nyaris tidak dibatasi ruang dan waktu, serta konsep hyperlink merupakan kekuatan sekaligus kelemahannya.
Terlebih dikaitkan dengan ekskalasi dunia pasca Tragedi 9/11 yang berpotensi dipicu konflik SARA secara horisontal maupun vertikal, maka peran media saat ini – baik tradisional maupun baru -  dituntut lebih selektif dalam menyuarakan kebebasan berekspresi individu dan kelompok. Ini tidak identik dengan pemasungan berpendapat, melainkan semata media harus lebih arif memainan perannya di tengah masyarakat dunia yang tengah berubah.
Pada galibnya, media bukan semata memiliki fungsi hiburan, tetapi harus lebih berperan aktif mewujudkan fungsinya sebagai penyedia informasi bagi lingkungannya, menawarkan solusi atas suatu masalah, serta menyosialisasikan sistem nilai yang lebih toleran.
Secara normatif dan praktik, kedepan media harus berperan sentral menjadi salah satu simpul pemersatu umat manusia yang sejatinya heterogen, bukannya mejadi pemecah belah antar golongan. Media yang memiliki sensitifitas budaya, mampu menjadi perekat dalam sebuah bingkai keberagaman. Serta mampu membangun pemahaman dari berbagai perbedaan penafsiran.
Terkait dengan tesis Samuel Hutington tentang  ”Benturan Peradaban” (Clash of Civilization), yang digambarkan terjadi kekuatan Barat dengan dunia Islam, media harus berperan aktif menegasikan menjadi sebuah nubuat yang dipenuhi sendiri. Itu semua dimungkinkan ketika media mampu meredefinisi konsep kebebasan melalui media, yakni kebebasan yang tidak absolut.  
Wallahualam bisawab.
*****
Penulis adalah pemerhati media dan dosen Ilmu Komunikasi di Sekolah Komunikasi Multimedia, IMTelkom Bandung.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar