Kamis, 11 Oktober 2012

BENCANA DAN PERAN MEDIA Oleh : Hadi Purnama



Dari gempa besar dan tsunami meluluhlantakan Aceh, disusul semburan lumpur panas di Sidoarjo, merebaknya wabah flu burung dan demam berdarah, hingga bencana banjir yang hampir ”menenggelamkan” Jakarta,  seakan tiada hari tanpa bencana di tanah air. Semuanya terekam menjadi berita utama di surat kabar, radio terutama di layar kaca.
Pertanyaannya, seberapa tanggap dan seberapa besar peran media massa dalam mewacanakan peristiwa bencana dalam agenda pemberitaannya? Persoalan ini menjadi relevan ketika insan pers dan media massa akan memperingati Hari Pers Nasional. Terlebih di era kebebasan sekarang, ketika insan pers punya ruang ekspresi sangat lebar, untuk mendefinisikan ulang perannya dalam melayani publik.
Benarkah kebebasan pers membawa pengaruh kepada media  lebih loyal dan lebih pro rakyat. Karena rakyat merupakan subjek -sekaligus objek – dalam setiap peristiwa bencana?
Merumuskan Kembali Bencana
Sphere Project di tahun 2000 merumuskan bencana sebagai suatu situasi dimana cara masyararakat untuk hidup secara normal telah gagal sebagai akibat dari peristiwa kemalangan luar biasa, baik karena peristiwa alam ataupun perbuatan manusia. Dengan rumusan seperti ini, begitu beragam dan lebar spektrum bencana yang terjadi di sekitar kita selama ini. Selama ini kita beranggapan bencana alam muncul begitu saja tanpa campur tangan atau sebagai dampak perbuatan manusia. Padahal, dibandingkan dengan bencana alam - yang sepenuhnya di luar kendali kita - bencana yang timbul akibat perbuatan manusia jenis dan frekuensinya lebih banyak. 
Laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebutkan, selama kurun waktu lima tahun (1998-2004), terjadi 1.150 kali bencana di Indonesia. Rentetan bencana yang diperkirakan menelan korban jiwa 9900, dengan kerugian hampir Rp.6 triliun, didominasi oleh tiga jenis bencana utama yakni: banjir (402 kali); kebakaran (193 kali); dan tanah longsor (294 kali). Angka korban jiwa dan jumlah kerugian materi akan bertambah besar bila memasukkan data  yang diakibatkan rangkaian bencana tsunami, gempa bumi, banjir, pembalakan hutan dan semburan lumpur panas yang berlangsung dalam dua tahun terakhir.
Merujuk pada rumusan bencana yang dibuat Sphere Project, jelas bahwa ragam dan rentang bencana jauh lebih banyak. Bahkan, dengan merujuk rumusan tadi, hampir sebagian besar bencana berpangkal dari perbuatan manusia. Banjir, kebakaran (terutama hutan), dan tanah longsor adalah tiga contoh bencana alam yang ditengarai sebagai ”respon alam” terhadap penghancuran ekosistem secara sistematis. Pembalakan liar hutan, pengalihfungsian lahan yang sembrono, pengrusakkan sumber daya alam dan lingkungan yang berlangsung secara sistematis menjadi pemicu munculnya bencana lingkungan.
Meminjam rumusan Kartodihardjo dan Jhamtani, rangkaian bencana lingkungan dalam beberapa dekade terakhir sebagai bencana pembangunan. Artinya bencana  multidimensi  sebagai faktor krisis lingkungan yang diakibatkan pembangunan dan gejala alam ini diperburuk oleh pengrusakkan alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial.
Kerakusan Ekonomi
Pembangunan di Indonesia dan kebanyakan negara miskin yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sejatinya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tetapi, untuk mewujudkan rencana muluk yang tertuang di atas kertas ini nyatanya tidak semudah membalik telapak tangan.
Program pembangunan fisik dan sosial berubah menjadi binatang ekonomi rakus ketika berada di tangan rejim penguasa yang sangat korup. Kepentingan pengekalan kekuasaan rejim didukung kepentingan ekonomi  global perusahaan perusahaan transnasional, telah menjadi sebuah konspirasi yang menghancurkan ekosistem.
Dampak bencana lingkungan bukan hanya menelan korban jiwa dan benda, melainkan mulai menjadi ancaman signifikan pada tiga sektor utama prasyarat keberlanjutan kehidupan, yaitu air, pangan dan energi. Dalam laporannya Walhi mencatat, sekira 70 persen air tanah di Jakarta menunjukkan kondisi tidak layak untuk dikonsumsi. Kondisi yang sama terjadi di hampir semua kota besar di Indonesia, ketika daya dukung alam sudah tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Ironisnya, memburuknya konservasi air tanah malahan menjadikan air menjadi komoditas bisnis bernilai sangat tinggi.
Di sektor pangan, revolusi hijau yang diterapkan pemerintah selama tiga dekade silam yang diyakini mampu mewujudkan swasembada pangan, malah berujung tragis. Selain kehilangan  75% dari  sekira 12.000 varietas padi lokal, dan sangat bergantung pada pupuk dan pestisida kimia, negara kita menjadi pengimpor beras sejak pertengahan dekade 90-an. Kondisi ini kian diperburuk dengan diberlakukannya sistem ekonomi dan perdagangan bebas yang menerapkan mekanisme pasar bebas, yang memaksa negara-negara miskin menjadi sangat bergantung pada pemenuhan pangan dari negara-negara maju.
Bencana pangan berdampak pada hilangnya keragaman bahan pangan rakyat, karena ”politik beras” yang dijalankan oleh rejim orde baru. Diperparah oleh krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1997, bencana kelaparan merebak bukan saja di daerah pelosok rawan pangan hingga  daerah lumbung beras di hampir seluruh pelosok tanah air.  
Begitu pun dengan kedaulatan energi. Dengan tingkat konsumsi yang cenderung meningkat, 90 persen kebutuhan energi rakyat sangat bergantung kepada BBM. Padahal penguasaan cadangan minyak, gas bumi, dan sumber daya alam yang berpotensi menghasilkan energi dikuasai perusahaan-perusahaan transnasional. Data menunjukkan lebih  dari 75% cadangan minyak Indonesia dieksploitasi. Di masa depan, kedaulatan energi bangsa kita menghadapi ujian sangat serius.
Singkatnya, rangkaian bencana yang seakan tak berujung ini berdampak bukan hanya pada korban jiwa dan benda, namun berdampak pula pada produksi pertanian dan peternakan, tercemarnya sumber air, terhentinya produksi sektor industri, serta masalah sosial yang lebih luas seperti pengungsi dan migrasi penduduk. Sebagai contoh, kerugian materi yang harus ditanggung para peternak unggas akibat wabah flu burung untuk tiga bulan ke depan saja ditaksir Rp. 1 triliun. Belum lagi kerugian dari berbagai bencana yang lain.
Redefinisi Peran Media
Rentannya negara kita dari ancaman bencana lingkungan dan kemanusiaan, mengharuskan media keluar dari peran standardnya. Terlebih dengan ”kontrak sosial” media kepada publik. Redefinisi peran media, khususnya dalam isu bencana, menjadi sebuah keniscayaan sejarah.
Pertama,  peran media tidak cukup sekadar sebagai peliput dan penyampai informasi bencana. Media kini harus lebih proaktif mengedukasi publik seraya membangun masa kritis (critical mass)  dalam membangun paradigma masyarakat yang sangat berorientasi pada lingkungan. Media harus berani menjadi ujung tombak sekaligus ”martir” yang akan menjaga lingkungan dari kerakusan para pelaku ekonomi.
Kedua, media harus berani menjadikan lingkungan sebagai isu sentral dalam agenda pemberitaan. Maknanya, setiap pemberitaan pembangunan akan senantiasa mempertimbangkan dan memprediksi dampaknya bagi lingkungan. Media tidak terpancing menjadi corong kepentingan bagi  para elit politik dalam wacana politik yang berorientasi pada kekuasaan.
Ketiga, media harus mampu membangun sistem peringatan dini, dalam upaya  kesiagaan masyarakat saat menghadapi bencana. Pilihan yang harus ditempuh media mengingat masih lemahnya sistem peringatan dini bencana oleh pemerintah. Peran terakhir ini mulai dipraktikan sejumlah media massa, terkebih  paska bencana tsunami dan  karamnya KM Senopati.
Melalui redefinisi peran media, kita berharap masyarakat dapat terhindar dari ancaman bencana lingkungan yang lebih dahsyat. Setidaknya kita mampu meminimalkan jumlah kerugian jiwa dan benda saat bencana tiba.
Wallahualam bisawab.


(Dimuat 6 Februari 2007 di Rubrik Opini HU Pikiran Rakyat)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar