Kamis, 11 Oktober 2012

KRIMINALISASI PERS



Oleh: Hadi Purnama
Timur Tengah menjadi kawasan paling berdarah bagi para jurnalis.
Di kawasan ini sedikitnya 22 jurnalis dan awak media
dilaporkan tewas selama kurun waktu 2011.

Seperti termuat pada laporan terbaru Asosiasi Suratkabar dan Penerbit Berita Dunia (WAN-IFRA), kriminalisasi terhadap jurnalis dan awak media masih terus ber-langsung. Dilaporkan pada tahun 2011 sedikitnya 64 orang jurnalis dan awak media tewas, sepertiganya terengut di kawasan Timur Tengah. Selebihnya terjadi di 27 negara yang terentang di berbagai kawasan di dunia, mulai dari Asia, Amerika Selatan, Afrika hingga ke Eropa.
Dalam konteks global terjadi eskalasi kekerasan terhadap jurnalis dan awak media pada umumnya. Bahkan tindak kekerasan yang berujung kematian di kalangan jurnalis cenderung meningkat dalam kurun waktu tiga belas tahun terakhir. Fenomena kematian jurnalis menunjukkan peningkatan yang kian mencemaskan.
Meningkatnya Kekerasan
Data WAN-IFRA menunjukkan adanya lonjakan jumlah kasus kekerasan serta korban tewas di kalangan jurnalis  selama periode 1998-2011. Di tahun 1998 jurnalis yang tewas ”baru” berjumlah 28 orang. Pada tahun 1999 angkanya melonjak hingga 250 persen menjadi 70 jurnalis dari berbagai kawasan di dunia dinyatakan tewas aki-bat kekerasan.
Di tahun-tahun berikutnya tingkat kekerasan terhadap jurnalis cenderung menu-run dibandingkan dengan tahun 1999. Meski jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian di tahun 1998. Namun di tahun 2004 angkanya kembali melonjak menembus jumlah 72 orang. Dan, puncaknya terjadi di tahun 2006 ketika 110 orang jurnalis dan awak media tewas di seluruh dunia. Artinya bila direratakan sekitar sembilan jurnalis tewas setiap bulannya pada tahun itu. Di tahun 2011 angka kematian yang terjadi di kalangan jurnalis yang diakibatkan oleh kekerasan cenderung turun. Bahkan yang terendah sejak tahun 2007  (lihat tabel).


Data Jurnalis Yang Tewas
Di Seluruh Dunia (Periode 1998-2011)
Tahun
Jumlah
1998
28
1999
70
2000
53
2001
60
2002
46
2003
53
2004
72
2005
58
2006
110
2007
95
2008
70
2009
99
2010
66
2011
64

Dari penelusuran WAN-IFRA, umumnya para jurnalis tewas di kawasan konflik. Baik yang diakibatkan oleh konflik politik seperti terjadi di Libya, Mesir, Syria, Tunisia, Yaman, maupun yang dipicu oleh perseteruan diantara kartel obat bius seperti di kawasan Amerika Latin.
Seperti telah disinggung di awal tulisan, kawasan konflik yang paling membahayakan keselamatan para jurnalis selama tahun 2011 adalah negara-negara di kawasan Timur Tengah. Menurut WAN-IFRA, negara-negara Arab menjadi kawasan yang paling tidak bersahabat bagi jurnalis. Musim Semi Arab (Arab Spring) – sebutan untuk revolusi sosial yang terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah – yang sejatinya tengah menegakkan demokrasi justru menjadi pemicu paling eksplosif dan membahayakan bagi keselematan jurnalis yang bertugas di kawasan itu.
Revolusi yang bermula di Tunisia kemudian meruyak ke negara lain, termasuk Bahrain, Yaman, Syria, kemudian ”menyeberang” ke Afrika diantaranya Mesir dan Libya menjadi ”ladang pembantaian” bagi enam belas jurnalis yang tengah meliput berbagai peristiwa kerusuhan. Begitupun dengan Irak, pasca tumbangnya Saddam Hussein, tahun lalu meminta tumbal enam jurnalis lokal dan internasional. 
Selain di Timur Tengah, kriminalisasi pers dalam bentuk tindak kekerasan juga berlangsung di berbagai negara di seluruh dunia selama tahun 2011. Di kawasan Amerika Tengah dan Amerika Selatan tercatat enam belas  jurnalis tewas di delapan  negara, dengan Meksiko sebagai negara yang paling banyak menelan korban jiwa.
Disusul kemudian oleh Afrika, yang sejak lama dikenal sebagai kawasan konflik. Selain di Somalia, kekerasan terhadap jurnalis berlangsung di Uganda, Republik Kongo, Sierra Leone, Somalia, Libya dan Mesir. Di Libya tercatat lima jurnalis tewas selama revolusi sosial yang berhasil melengserkan Muammar Khadaffy. Sedangkan revolusi di Mesir menyebabkan dua jurnalis kehilangan nyawa.
Eskalasi konflik yang nyaris tidak berkesudahan di kawasan Timur Tengah dan Afrika akan berlanjut hingga tahun 2012. Ini dibuktikan dengan terus bergejolaknya aksi penuh kekerasan di Mesir, Libya, Yaman, Tunisia dan Syria. Bahkan krisis politik berkepanjangan di Syria hingga Januari 2012 telah menelan korban seorang awak media TV Perancis, Gilles Jacquier.
Sedangkan Asia menjadi kawasan berbahaya bagi jurnalis. Tahun 2011 silam tercatat 19 jurnalis tewas di kawasan ini. Kasus kekerasan yang berujung kematian terjadi di empat negara, yakni di Pakistan (10), India (2), Filipina (2),  Thailand (1), dan Vietnam (1). Pakistan menjadi rawan bagi para jurnalis, karena diyakini menjadi sarang teroris internasional dan gembong obat bius, menginggat berbatasan langsung dengan Afghanistan.
Selain kriminalisasi dalam bentuk kekerasan fisik yang menyebabkan hilangnya nyawa jurnalis, maka lebih banyak lagi kasus-kasus kekerasan fisik dan nonfisik yang menimpa jurnalis di seluruh dunia. Bahkan WAN-IFRA pun tidak memiliki data akurat untuk kasus kriminalisasi yang lain.
Kriminalisasi Pers di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Meski tidak masuk ke dalam daftar WAN-IFRA, kriminalisasi terhadap jurnalis dan awak media di tanah air masih mengkhawatirkan. Bahkan dilihat dari angka kejadian, kasus kekerasan terhadap jurnalis selama empat tahun terakhir menunjukkan trend peningkatan. Bila pada tahun 2008 terdapat 60 kasus kekerasan, sedikit menurun menjadi 40 kasus di tahun 2009, kembali naik ke angka 69 di tahun 2010, dan angkanya melonjak jadi 96 kasus pada tahun 2011.
Menurut LBH Pers, kasus kriminalisasi terhadap pers memiliki bentuk cukup beragam. Mulai dari demonstrasi, intimidasi, penyanderaan, tuntutan hukum, larangan meliputm pemukulan, hingga pembunuhan. Beberapa kasus kriminalisasi terhadap jrunalis dan institusi pers ada yang berhasil diselesaikan, baik  dengan ”jalan damai’ maupun lewat jalur hukum. Tetapi, masih banyak kasus yang hingga kini tetap menggantung. Salah satunya kasus pembunuhan jurnalis Udin yang tewas bebera[a tahun silam.       
Dengan masih menggunungnya kasus kriminalisasi pers, maka menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan bukan saja oleh insan pers, melainkan seluruh pemangku kepentingan. Selain mengurangi tindak kekerasan terhadap jurnalis, juga harus memrioritaskan penuntasan berbagai kasus hukum yang melibatkan insan dan institusi pers. Mengingat peran penting pers sebagai Pilar Keempat yang akan mengawal berlangsungnya proses demokratisasi di negeri ini, hanya mungkin terwujud manakala keselamatannya terjamin.
Semoga!

Penulis adalah pemerhati media dan Staf Pengajar Sekolah Komunikasi Multimedia, Institut Manajemen Telkom Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar