Kamis, 11 Oktober 2012

MENDEKONSTRUKSI PERAN TELEVISI



Oleh Hadi Purnama

”Does a fish know it’s wet?”
(Marshall McLuhan)
Tamsil McLuhan seolah menggambarkan betapa si ”kotak ajaib”  telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia modern.
______
Sejarah perjalanan televisi terentang lebih dari 80 tahun, sejak dikembangkannya cikal bakal si “kotak ajaib” oleh Philo Farnsworth di penghujung tahun 20-an di Negeri Paman Sam. Kini, televisi menjadi salah satu media massa yang paling berpengaruh di muka bumi. Televisi - mengutip pendiri stasiun televisi berita CNN Ted Turner - bukan lagi sekadar mendokumentasikan sejarah manusia, juga ikut “membuat” sejarah. Mulai dari liputan pendaratan manusia pertama di Bulan pada era 60-an hingga penyerbuan Pasukan Koalisi pada Perang Teluk I di awal 90-an.
Melihat maraknya pertelevisian di tanah air dalam satu dekade terakhir, mengundang kebanggaan sekaligus keprihatinan. Alih-alih televisi menjadi ikon peradaban bangsa, simbol kemajuan teknologi, serta tumbuhnya fungsi infomasi, pendidikan dan kontrol sosial, televisi telah menjadi media “penyeragaman” yang mencederai prinsip keberagaman isi dan jenis tayangan (diversity of content), terutama dengan kian maraknya praktik duplikasi program acara saat ini.
Meski kerap diperdebatkan di kalangan akademisi ihwal pengaruh televisi - makin maraknya budaya kekerasan yang memicu konflik horisontal di tengah ma-syarakat, merebaknya dekadensi moral seperti korupsi di hampir semua lini kehi-dupan, mengakarnya budaya konsumtivisme masyarakat yang kian mendewakan materi, ditenggarai dipicu dan disemaikan oleh televisi yang saat ini berdiri di garda terdepan media maisnstream?
Terlebih lagi di tengah masyarakat kita yang punya patron budaya menonton dan bukan budaya membaca - yang diyakini menjadi fondasi utama terciptanya sebuah peradaban maju. Maka deretan program tayangan berita, hiburan dan pendidikan yang dikemas dalam berbagai variannya, bukan saja kerap mengabaikan prinsip jurnalisme yang bertanggung jawab, mengabaikan norma-norma sosial, bahkan kurang menginspirasi masyarakat. Belum lagi “tirani minoritas” yang diper-tontonkan televisi  yang mengukur “keberhasilan” program acara semata dilandasi oleh rating, dianggap menzalimi aspirasi mayoritas, seakan menjadi kelaziman dalam industri televisi saat ini. 
“Kotak Pandora”?
Padahal televisi, seperti halnya media massa lain, juga memiliki sejumlah pe-ran penting, diantaranya sebagai sumber informasi, belajar sosial, sarana komunal-isasi, mengisi kesenggangan pertemanan hingga sarana kontemplasi bagi khala-yaknya. Pertanyaannya, apakah pengelola stasiun televisi telah menjalankan peran-nya secara optimal?
Di saat menguatnya pandangan kritis - bahkan sinis – masyarakat terhadap televisi, metafora televisi sebagai “Kotak Pandora”, seakan menguatkan stigma ma-syarakat tentang televisi yang hanya mendatangkan keburukan, malapetaka, dan ke-mudaratan saat tombol TV dinyalakan. Padahal metafora ini tidak sepenunya tepat!
Di tengah reaksi masyarakat yang kianberagam, arus besar yang muncul da-lam beberapa dekade terakhir bermuara pada tumbuhnya kesadaran menjadi kha-layak televisi yang lebih cerdas. Gerakan budaya yang bertajuk media literacy (melek media) ini juga berlangsung di tanah air. Kampanye melek media bertajuk ”Gemas Pedas” (Gerakan Menonton Sehat, Penonton Cerdas) yang pernah di Jawa Barat, atau ”Comel” (Cobalah Menonton Lebih Sehat) di Propinsi Kepulauan Riau menjadi bukti kuatnya gerakan budaya ini.
Untuk mengatasi sengkarut pertelevisian saat ini diperlukan partisipasi dari para pemangku kepentingan, utamanya dari para pengelola stasiun televisi. Ironis-nya, menunggu kesadaran dari para pengelola televisi serta content provider ibarat pepatah pungguk merindukan bulan. Pasalnya, masih sangat kuatnya tarikan kepen-tingan komersial, ketatnya persaingan dalam meraih jumlah penonton dan meme-rebutkan kue iklan, kerap dijadikan alasan pengabaian kualitas program tayangan televisi.
Padahal taruhannya tidak main-main. Para pengelola stasiun televisi mung-kin tidak sadar, pengabaian atas program acara berimplikasi serius, karena mereka telah melalaikan kewajibannya membangun moral dan karakter bangsa!
Diberikannya mandat publik kepada para pengelola stasiun untuk mengguna-kan frekuensi yang sejatinya berada di ranah publik, mengandung konsekuensi me-reka harus menjalankan amanahnya secara proporsional dan bertanggung jawab. dengan tayangan program yang sehat dan bermanfaat bagi khalayaknya.
Langkah Kecil, Lompatan Besar
Melihat kondisi memprihatinkan pertelevisian nasional saat ini, yang diwarnai dengan “malpraktik” oleh para pengelola stasiun televisi mendorong kerinduan hadir-nya sosok stasiun televisi yang bisa memberikan atmosfer baru. Bukan saja da-pat menyajikan pogram tayangan inspiratif dan informatif dengan kemasan menarik bagi keluarga Indonesia, tetapi menjadi media yang mampu memberikan pencerahan bagi masyarakat (Enlightening People) yang kian terpuruk ke dalam kubangan masa-lah multi dimensional.
Kehadiran Kompas TV yang digadang-gadang mengusung visi dan misi yang “berbeda” dengan stasiun TV yang telah ada, yakni mengemas program tayangan news, adventure & knowledge, serta entertainment yang mengedepankan kualitas. Kita menunggu realisasi atas janji Kompas TV yang akan mengejawantahkan kera-gaman nusantara dalam bentuk konten program tayangannya yang akan meng-eksplorasi Indonesia, baik kekayaan alam, khasanah budaya, serta talenta yang di-miliki bangsa, namun pada saat yang bersamaan program tayangannya juga harus membumi.
Bila semua janji bisa ditampilkan utuh di layar kaca, sejatinya langkah kecil Kompas TV akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah pertelevisian Indonesia sebagai lompatan besar yang akan mengubah wajah televisi sekaligus sejarah Indonesia kini dan di masa depan. Sebuah upaya cerdas dan berani mendekonstruksi peran televisi.
Semoga berhasil!

Penulis pemerhati media & staf pengajar Komunikasi di Sekolah Komunikasi Multimedia, di IMTelkom Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar