Kamis, 11 Oktober 2012

LABIRIN KEBOHONGAN



Oleh HADI PURNAMA
        
Sebuah karikatur dimuat sebuah harian nasional yang menyindir tahun 2011 sebagai tahun penuh dusta. Jelas ini bukan sekadar sindiran tetapi kecemasan sekaligus tamparan terhadap kesadaran kolektif kita.
         Tamparan bagi sebuah bangsa yang selama berpuluh tahun terkesan membiarkan dirinya masuk ke dalam pusaran kolektif, menggiring ke dalam dalam labirin kebohongan tak berujung.
         Setiap hari beragam kebohongan, yang melibatkan politisi, para penegak hukum, pengusaha, hingga entertainer dipertontokan secara banal dan massif melalui media massa. Seakan media massa telah menjadi “etalase” kebohongan bagi para pelakunya Perilaku menyimpang itu dengan mudahnya dapat ditiru oleh siapapun yang ingin menjadikan bohong sebagai sebuah “ideologi” baru.  
         Disebut ideologi, karena berbohong sudah dianggap sebuah way of life alias jalan hidup bagi sebagian besar orang untuk mewujudkan impian hidupnya. Bahkan kebohongan menjadi kendaraan untuk meraih kekayaan dan kekuasaan. Tentu saja melalui jalan pintas dan instan, meski harus menerabas norma budaya, etika bahkan rambu-rambu hukum. Tidak berlebihan bila menyebut korupsi – yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa – merupakan pengejawantahan dari praktik bohong yang kian sistemik di tengah masyarakat.
         Bahkan praktik haram ini senantiasa berkelindan dengan bohong. Karena dalam praktiknya korupsi selalu diawali dan diakhiri denga kebohongan. Para koruptor  akan selalu menutupi satu kebohongan dengan kebohongan yang lain, meski  harus membohongi hati nuraninya sendiri, dan Tuhan!   
         Sebuah kebohongan atau dusta merupakan proses pengabaian atas kebenaran, sehingga pihak lain mau menerima suatu pernyataan atau perilaku  sebagai kebenaran. Seringkali kebohongan dilakukan untuk mengelabui akal sehat dan logika manusia.
Survival of the Fittest
         Secara fenomenologis kebohongan dapat didekati dari berbagai perspektif. Bagi para evolusinis bohong merupakan fenomena dari survival of the fittest. Berbohong menjadi salah satu mekanisme pertahanan diri mahluk hidup agar bisa survive. “Berbohong” di lingkungan satwa dan tumbuhan sedikitnya berlatar motif menghindari bahaya dan atau mencari mangsa. Bunglon dan Kantung Semar menjadi salah contoh paling kongkrit spesies dengan kemampuan kamu-flase untuk menghindari bahaya sekaligus mencari mangsa.        Melalui kemampuan
memanipulasi lingkungan banyak spesies mampu bertahan hidup selama ribuan bahkan jutaan tahun di muka bumi.
         Bagaimana dengan manusia? Meski tidak persis sama, manusia pun “dianugerahi” kemampuan manipulatif yang berkembang seiring dengan evolusi otak manusia, yang memiliki kemampuan lebih  kompleks dari spesies lain.. Ironisnya, motif berbohong yang dimiliki manusia juga lebih complicated. Tidak sekadar digunakan sebagai mekanisme pertahanan diri,  pada spesies tumbuhan dan hewan, melainkan juga cara untuk mencari informasi, menggungguli, hingga upaya untuk menguasai dan menaklukan pihak lain.
         Suka atau tidak, berbohong justru dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari untuk beragam tujuan, termasuk tujuan “positif”, baik secara terselubung maupun terang-terangan. Misi intelijen secara terselubung kerap dilakukan aparat keamanan maupun staf markting perusahaan. Selain itu peliputan investtigatif juga “menghalalkan” taktik dusta dalam upayanya menghimpun informasi dari narasumber. Bohong disini diletakkan dalam konteks positif, sebagai upaya menghimpun informasi penting.
         Dalam tipologi bohong, ada yang disebut sebagai “bohong putih” (white lie). Bohong putih bahkan mendapat “justifikasi”, termasuk dari sudut pandang agama. Terutama bila bohong putih bermanfaat dari dimensi hubungan horisontal. Juga berlaku di kalangan medis, dalam batas tertentu dokter punya otoritas berbohong untuk tidak menyampaikan ketika informasi faktual tentang kondisi pasien, sebagai upaya membangun harapan hidup yang bersangkutan.       
         Meski demikian, bohong tetap harus diberikan stigma negatif, mengingat dampaknya yang destruktif. Semestinya tidaka toleransi untuk berbohong (zero tolerance), Karena, mengutip Thomas Jefferson, “sekali kita berbohong akan diikuti oleh kebohongan berikutnya sehingga akan menjadi sebuah kebiasaan“. Bahkan berbohong cenderung menumpulkan hati nurani sekaligus melecehkan akal sehat manusia. Kebohongan secara gradual akan mengikis kemampuan kita untuk membedakan antara yang benar dan salah, antara yang baik dengan buruk.
Bohong dan Korupsi
         Yang menjadikan keprihatinan kita semua, saat ini berbohong bukan saja menjadi way of life juga telah menjadi jalan pintas (shortcut) bagi segelintir orang untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan, bahkan untuk lepas dari jerat hukum. Ironisnya kebohongan ini dipertontonkan oleh mereka yang berada di tampuk kekuasaan, seperti para  aparatur negara, politisi, pengusaha papan atas, bahkan pemuka agama.
         Merajalelanya praktik kebohongan yang berkelindan dengan tindak korupsi mulai kasus Gayus, kasus Nunun, kasus Century, hingga kasus Nazaruddin, semuanya berakar dari sikap dan perilaku manipulative, akan kian sulit diberantas. Mengutip ucapan Thomas Jefferson, “sekali kita berbohong akan diikuti oleh kebohongan berikutnya sehingga akan menjadi sebuah kebiasaan“. Maka prinsip dasar berbohong ibarat sebuah ritual yang cenderung dilakukan secara berulang.
         Ironisnya, di tengah sulitnya memberantas tindak manipilatif tadi, mereka yang berupaya menegakkan kejujuran justru dicemooh bahkan diasingkan. Seperti yang menimpa sebuah keluarga yang diusir warga karena berupaya membongka kecurangan dalam pelaksanaan UN di sekolahnya.
         Akhirnya, ketika kebohongan telah dianggap sebagai kelaziman, dan menjadi panglima dalam berkehidupan. maka tatanan sosial yang beretika cepat atau lambat akan roboh. Ketika tidak ada kemauan kolektif menghentikan praktik bohong, maka negeri ini telah bersalin rupa menjadi Republik (Para) Pembohong, yang sedang menghancurkan dirinya sendiri.

Penulis adalah staf pengajar Sekolah Komunikasi Multimedia, Institut Manajemen Telkom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar