Kamis, 11 Oktober 2012

MELINDUNGI WHISTLEBLOWER (BERANI BUKA MULUT)



Oleh Hadi Purnama

Beberapa orang guru disidik pihak berwenang, pasalnya ditenggarai menjadi  whistleblower  yang membongkar  praktik kecurangan dalam ujian nasional lalu. Tragisnya, tindakan para ”pembocor rahasia” ini justru ditanggapi skeptis bahkan negatif oleh banyak pihak . ”Pembungkaman” guru yang masih memiliki hati nurani ini sungguh sebuah ironi, di saat pemerintah berupaya memberantas berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di negeri .
*****
Membongkar praktik kecurangan dalam ujian nasional yang dilakukan para guru, seharusnya dijadikan momentum pemberantasan korupsi di semua lini kehidupan. Apa jadinya ketika institusi pendidikan sebagai benteng terakhir kejujuran sebuah bangsa didan menjadi sasaran tembak pihak berwajib. Padahal peran para ”pembocor rahasia” ini – dikenal dengan sebutan whistleblower – justru sangat dibutuhkan di zaman edan seperti sekarang. Bukan hanya untuk kasus UN, tetapi di hampir semua sektor kehidupan bernegara yang tengah dihimpit persaoalan besar: korupsi.
Seorang whistleblower, jelas berbeda dengan pemfintah atau penghasut, karena biasanya membocorkan rahasia dengan itikad baik dibekali informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Misi mereka jelas, memperbaiki kebobrokan yang dibangun suatu sistem secara sistemik.
Kasus Watergate merupakan salah satu contoh klasik betapa whistleblower memegang peran kunci dalam mengurai sebuah kecurangan. Kasus pembocoran rahasia praktik kecurangan politik yang dilakukan dua wartawan The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, menjadi bahan kajian wajib mahasiswa jurnalistik dalam kuliah investigasi. Klimak dari kasus yang menggegerkan publik Amerika ini akhirnya memaksa Presiden Nixon turun tahta sebelum waktunya di tahun 1974.
Sukses pers dalam kasus Watergate tidak dimungkinkan tanpa andil Deep Throat– sang pembocor rahasia yang tetap dijaga jati dirinya. Kerahasiaan ini tetap dijaga rapi oleh kedua wartawan legendaris tadi selama lebih dari tiga puluh tahun. Sampai akhirnya W. Mark Felt, orang dalam FBI yang dijuluki Deep Throat ini membuka diri kepada publik saat memberikan wawancara eksklusif di Vanity Fair dua tahun silam.
Kasus pembocoran rahasia yang dilakukan whistleblower, bukan saja terjadi di kancah politik. Skandal akuntansi yang menyeret perusahaan raksasa WorldCom  dan Enron pada tahun 2001-2002 kian menguatkan peran para whistleblower dalam mengungkap borok perusahaan yang berpotensi merugikan publik. Cynthia Cooper  dan Sherron Watkins masing-masing petinggi di perusahaan WorldCom  dan Enron, berhasil menjadi ikon whistleblower yang berani buka mulut untuk mengungkap kebenaran. Keduanya akhirnya dinobatkan menjadi Persons of The Year  versi majalah Time edisi akhir tahun 2002.
Perlu Payung Hukum
Bagaimana dengan nasib whistleblower di Indonesia? Fenomena pembungkaman para pelapor praktik curang dalam UN baru lalu, dan kasus para pemberi informasi dalam kasus suap peradilan menunjukkan para pembocor informasi dalam masih posisi tidak aman.
Padahal saat ini Indonesia memerlukan lebih banyak orang yang berani buka mulut saat melihat praktik curang. Merebaknya praktik korupsi di hampir semua bidang kehidupan, tidak mungkin diatasi tanpa peran serta whistleblower. Meski para hamba hukum sudah bisa menerapkan asas pembuktian terbalik, tetapi entry point atas kasus korupsi sangat bergantung pada pemberi informasi awal.
Persoalannya, sudahkah kita menyiapkan sistem dan perangkat hukum yang mampu melindungi para ”martir informasi” ini? Tanpa itu semua, siapa pun ogah kalau harus mati konyol setelah memberikan informasi penting.
Kita patut bercermin dari pengalaman pasca kasus WorldCom dan Enron di Amerika. Setelah diguncang skandal akuntansi keuangan yang menggegerkan bursa saham akibat manipulasi yang dilakukan kedua perusahaan raksasa tersebut,  lahirlah Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002. SOA 2002 menjadi instrumen yang harus dipatuhi perusahaan yang terdaftar di pasar saham AS. Ibaratnya, inilah payung hukum yang akan melindungi whistleblower.
Salah satu pasal SOA 2002 mengatur, perusahan tidak akan menurunkan pangkat, melakukan skorsing, mengancam, mengintimidasi  atau melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang melakukan pelaporan sesuai prosedur dan didasarkan itikad baik.
Begitu pun dengan payung hukum lainnya, semisal undang-undang perlindungan saksi. Instrumen hukum yang jelas akan memberikan nyali bagi whistleblower melaporkan setiap kecurangan yang dilakukan di sebuah institusi.
Sebuah survei yang dilakukan Association of Certified Fraud Examiner menunjukkan bahwa deteksi awal yang berasal dari pengaduan karyawan, pelanggan dan pihak-pihak yang berkepntingan lainnya jauh lebih efektif bahkan dari informasi pihak berwajib. Program whistleblower sudah diterapkan di banyak perusahaan besar, terutama yang sudah listing di bursa saham, salah satunya oleh PT Telkom.
Budaya ”Berani Buka Mulut”
Di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi saat ini, program whistleblower harus menjadi komitmen semua pihak, terlebih pemerintah. Budaya ”Berani Buka Mulut” harus menjadi gerakan sosial yang difasilitasi semua lapisan masyarakat, khususnya dari elit politik.
Dengan begitu banyak kecurangan, penyelewengan, dan korupsi di sekitar kita. Mustahil diberantas tanpa keberanian dari para whistleblower. Berani buka mulut? 

Penulis pemerhati media, staf pengajar Komunikasi di Sekolah Komunikasi Multimedia, di IMTelkom Bandung 

2 komentar:

  1. Pertanyaannya: Apakah whistleblower yang bermunculan itu karena adanya kepentingan yang tak mereka dapatkan sehingga terpaksalah mereka menjadi "pengkhianat"? Semoga saja tidak karena kita mengaharapkan di zaman serba edan ini msh ada pribadi jujur dalam diri manusia-manusia. Walahualam.

    BalasHapus
  2. pendeteksian awal memang baik, seperti penerapan whistleblowing system di PT Telkom tersebut. Tetapi, akan lebih baik lagi jika bisa mencegah fraud tersebut sebelum fraud tersebut terjadi. yang jadi akar masalahnya, bagaimana caranya??

    BalasHapus